KESETARAAN GENDER DALAM PEMBARUAN USIA PERKAWINAN DI INDONESIA (Studi Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017)

KESETARAAN GENDER DALAM PEMBARUAN USIA PERKAWINAN

DI INDONESIA (Studi Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017)

Read More

Oleh :

Alimuddin

Pemimpin Redaksi Deal-Channel

 

PROLOG

Studi gender merumuskan paling sedikit empat sumber utama yang menyumbang berlangsungnya bias gender, yaitu (1) Penafsiran atas teks agama; (2) Budaya patriarkhi; (3) Pendidikan; dan (4) Negara. Peran negara dalam mencapai kesetaraan gender mutlak adanya, seiring dengan peran negara dalam memperjuangkan hak-hak warga negaranya sendiri. Jika negara tidak hadir, maka ketidaksetaraan gender akan merugikan kemanusiaan dan  menghambat prospek pembangunan ke depan.

Negara memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan baik perempuan maupun laki-laki. Dengan melaksanakan peran ini, negara mendapatkan manfaat sosial yang besar dalam kaitannya dengan peningkatan status perempuan dan anak perempuan baik secara absolut maupun relatif. Aksi publik terutama penting karena institusi sosial dan hukum yang mempertahankan ketidaksetaraan gender luar biasa sulit, atau bahkan tidak mungkin, diubah oleh individual secara sendiri-sendiri. Juga, kegagalan-kegagalan dalam pasar berarti tidak cukupnya informasi tentang produktifitas perempuan dalam pasar tenaga kerja (karena perempuan menghabiskan lebih banyak waktu kerja dalam aktifitas domestik atau karena pasar tenaga kerja tidak ada atau tidak dikembangkan).

Karena institusi sosial, hukum, dan ekonomi menentukan akses perempuan dan laki-laki ke berbagai sumber daya, kesempatan mereka, dan kemampuan relatif mereka, salah satu unsur kunci untuk meningkatkan kesetaraan gender adalah menjamin kesetaraan dalam hak-hak dasar.  Kesetaraan gender dalam hak merupakan tujuan pembangunan yang memiliki nilainya sendiri. Hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi menyediakan suatu ‘atmosfer’ (environment) yang memungkinkan perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi secara produktif dalam masyarakat, mencapai dasar kualitas hidup, dan mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan baru yang ditawarkan oleh pembangunan. Kesetaraan hak yang lebih besar juga secara konsisten dan sistematis dihubungkan dengan kesetaraan gender yang lebih besar dalam pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik dampak-dampak yang tidak ada hubungannya dengan pendapatan.

Dengan demikian, reformasi hukum berperan penting dalam mewujudkan persamaan hak dan perlindungan antara perempuan dan laki-laki. Dua perkembangan pembaruan menjelang akhir abad kedua puluh yang mengubah konteks dan nada dari perdebatan gender selama ini, yaitu pertama, bagaimana Islam dan politik dan penggunaan syariah secara ideologis telah mentransformasi relasi antara agama, hukum dan politik bagi umat muslim. Slogan ‘kembali ke syariah’ berkembang, namun pada praktiknya, tidak lebih dari sekadar upaya untuk menerjemahkan penetapan fikih klasik tentang relasi gender dan keluarga di bidang-bidang hukum pidana tertentu. Kedua, perkembangan meluasnya feminisme trans-nasional dan kelompok-kelompok perempuan, dan kemunculan masyarakat madani, yang membuka fase baru politik gender dan reformasi hukum dalam konteks masyarakat muslim.

Reformasi hukum dalam konteks Indonesia yang dilakukan oleh gerakan kaum perempuan tersebut, terjadi pada tahun 2017 dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Para pemohon yang terdiri atas emak-emak yang mempunyai anak perempuan di bawah umur, mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), mereka menilai rumusan pasal itu merugikan hak konstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945.

Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bahwa:

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

 

Menurut para pemohon, frasa” 16 (enam belas) tahun” adalah demi pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi anak, khususnya anak perempuan Indonesia, serta memberikan kepastian hukum yang adil bagi warga Negara baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945. Permohonan tersebut dilandasi beberapa alasan, pertama, ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan telah melanggar prinsip “segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum”, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kedua, ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hak kesehatan. Ketiga, ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hak pendidikan. Keempat, ketentuan a quo menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam resiko eksploitasi anak. Kelima, permohonan a quo dan perbandingan kesetaraan batas usia minimal kawin bagi laki-laki dan perempuan di berbagai negara.

Perbedaan batas usia minimum perkawinan antara laki-laki (19 tahun) dan perempuan (16 tahun) sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tersebut, dinilai bias gender karena memperlakukan perempuan diskriminatif. Padahal, dalam konstitusi persamaan hak di muka hukum adalah keniscayaan dan mengedepankan keadilan sebuah keharusan.

Mengamati argumentasi di atas, penulis tertarik membahas putusan MK tersebut dalam makalah yang berjudul “KESETARAAN GENDER DALAM PEMBARUAN USIA PERKAWINAN DI INDONESIA: Studi Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017”. Makalah ini akan mengkaji beberapa masalah sebagai berikut: (1) Apa alasan Hakim Konstitusi dalam mengabulkan pembaruan usia perkawinan? (2) Bagaimana sikap Hakim Peradilan Agama terhadap pembaruan usia perkawinan di Indonesia?

Obyek kajian dalam makalah ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang diputus dalam rapat permusyawaratan sembilan  Hakim Konstitusi pada tanggal 5 April 2018, kemudian diputus lagi dalam rapat permusyawaratan delapan Hakim Konstitusi pada tanggal 5 Desember 2018, lalu dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh delapan Hakim Konstitusi pada tanggal 13 Desember 2018 pukul 10.37 WIB. Dengan demikian, makalah ini masuk kategori penelitian normatif dengan metode riset content of analyses melalui pendekatan perundang-undangan. Teori yang digunakan ialah teori gender dan teori maslahat.

PEMBAHASAN

  1. Alasan Hakim Konstitusi dalam Mengabulkan Pembaruan Usia Perkawinan

Mahkamah sependapat, batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan saat ini berbeda dan tidak setara. Hal itu berdampak pada pembedaan perlakuan dan menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional laki-laki dan perempuan sebagai warga Negara Indonesia. Baik yang termasuk dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.

Hal tersebut sejalan dengan pengertian diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi :

Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

 

Ketika suatu kebijakan pemerintah terbukti bersifat diskriminatif, maka sulit untuk menyatakan kebijakan demikian tidak melanggar moralitas, rasionalitas, maka kebijakan diskriminatif pula bertentangan dengan UUD 1945. Maka, Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan terbukti merupakan kebijakan hukum pemerintah (legal policy) yang diskriminatif.

Sejarah panjang perumusan UU Perkawinan mengenai batas usia telah dibahas sejak dulu hingga disahkan pada tahun 1974. Hal itu merupakan kesepakatan nasional rezim orde lama yang pakai hingga rezim reformasi saat ini. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan diubahnya UUD 1945 (1999-2002), terjadi penguatan terhadap jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi dengan dicantumkannya pasal-pasal tentang jaminan hak untuk membentuk keluarga dan jaminan hak anak. Termasuk dalam hal ini, apabila terdapat produk-produk hukum yang mengandung perlakuan berbeda atas dasar ras, agama, suku, warna kulit, dan jenis kelamin, maka sudah seharusnya pula untuk disesuaikan dengan kehendak UUD 1945 yang anti diskriminasi.

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan Mahkamah diskriminatif, sebab dengan pembedaan batas usia minimum perkawinan yang termuat di dalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, semata-mata karena jenis kelaminnya. Hak-hak konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena secara hukum seorang perempuan pada usia 16 tahun yang menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) masih tergolong ke dalam pengertian anak,jika telah kawin akan berubah statusnya menjadi orang dewasa, sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah kawin pada usia 19 tahun.

Hak perempuan untuk tumbuh dan berkembang sebagai anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, juga mendapatkan perlakuan berbeda dari laki-laki di mana laki-laki akan menikmati hak itu dalam rentan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan perempuan.

Hak untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang setara dengan laki-laki juga potensial terhalang karena dengan dimungkinkannya seorang perempuan untuk kawin pada usia 16 tahun akan cenderung lebih terbatas aksesnya terhadap pendidikan dibandingkan dengan laki-laki, bahkan untuk sekadar memenuhi pendidikan dasar, padahal hak atas pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga Negara menurut Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang seharusnya dapat dinikmati secara setara dengan laki-laki. Bahkan, dalam kaitan ini, seorang perempuan yang tidak memenuhi pendidikan dasarnya akan potensial dinilai melanggar kewajiban konstitusionalnya sebab menurut Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasarnya.

Menurut pendapat Mahkamah, jika batas usia minimum perkawinan 16 tahun untuk perempuan dipertahankan, hal demikian tidak sejalan dengan agenda pemerintah ihwal wajib belajar 12 tahun karena jika seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun, maka dia akan kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan 12 tahun. Dengan demikian, meski kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal batas minimum usia perkawinan dimaksud dahulunya merupakan sebuah kesepakatan nasional, namun dalam perkembangan hukum dan konstitusi Indonesia, hal tersebut tidak lagi relevan karena terkategori sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif. Hal itu tidak sejalan dengan teori maslahat yang dikemukakan oleh Imam Syafii dan konsep Syatibi dalam tujuan pembentukan hukum (maqashid al-syariah).

Pembatasan minimum usia perkawinan pun bukan hanya mengandung prinsip bias gender, namun mengandung prinsip tidak sinkron antara ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dengan beberapa UU terkait, sebut saja dalam UU Perlindungan Anak. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.”  Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak dinyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dengan demikian, batas usia kawin bagi perempuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yaitu mencapai umurt 16 (enam belas) tahun bagi perempuan masih terkategori sebagai anak menurut Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak. Oleh karena itu perkawinan yang dilakukan di bawah batas usia yang ditentukan dalam UU Perlindungan Anak adalah perkawinan anak.

Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menimbulkan kemudaratan. Hal ini sejatinya dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Jika kondisi ini dibiarkan, tentu akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi “Darurat Perkawinan Anak” dan tentu saja akan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Jika merunut ke belakang, perkembangan sejarah pembaruan UU Perkawinan sudah dilakukan sejak tahun 2000-2004. Karena tidak berhasil, kemudian diteruskan dalam beberapa prolegnas yang terakhir pada tahun 2015-2019. Selama 44 tahun UU Perkawinan hadir di Indonesia, tentunya baru ini batasan usia minimum perkawinan dipermasalahkan lewat jalur konstitusi, bukan artinya tidak ada persoalan di luar sana, namun semakin tumbuh suburnya persoalan demi persoalan itu, menuntut kaum perempuan melakukan gerakan agar batas usia minimum perkawinan segera direvisi.

Tuntutan untuk menyesuaikan kebijakan usia minimum perkawinan juga didasarkan atas fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pihak The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Perjanjian internasional untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tersebut telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1984 melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Terkait hal itu United Nation CEDAW merekomendasikan agar Negara pihak menaikkan batas minimum usia perkawinan berlaku sama antara laki-laki dan perempuan. Alasan itu menjadi satu argumentasi Mahkamah dalam merumuskan putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 tentang uji materiil Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Pada akhirnya Mahkamah memutuskan bahwa Pasal a quo sepanjang frase “umur 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca dengan diksi “umur 19 (Sembilan belas) tahun” sebagaimana frase yang sama dengan usia perkawinan bagi laki-laki.

  1. Sikap Hakim Peradilan Agama Terhadap Pembaruan Usia Perkawinan

Telah disitir sebelumnya bahwa UU Perkawinan adalah kebijakan hukum pembuat undang-undang atau legal policy. Namun, jika produk tersebut bias gender, maka patut diluruskan agar berkeadilan gender. Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya aturan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.

Menarik untuk disimak, jika dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undang-undang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimum usia perkawinan yang berlaku saat ini, maka demi memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi, maka batas usia perkawinan harus diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak (21 tahun) yang diberlakukan sama antara perempuan dan laki-laki.

Sikap para hakim Pengadilan Agama terhadap putusan MK tersebut, sepenuhnya harus dipatuhi sepanjang tidak bertentangan dengan asas peradilan yang mempermudah penyelesaian perkara. Untuk itu, harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Artinya, penjelasan angka 4 huruf d UU Perkawinan bermakna bahwa perkawinan anak sesuatu yang dilarang.

Namun demikian, pengadilan agama tidak dapat menolak jika masih ada perkara dispensasi perkawinan yang masuk. Tugas dan fungsi pengadilan agama adalah menerima, memeriksa, dan mengadili semua perkara yang menjadi kewenangan absolutnya.

EPILOG

Adanya jaminan konstitusional hak-hak anak memunculkan kewajiban bagi semua pihak, termasuk peran hakim pengadilan agama. Pada saat yang sama, kewajiban tersebut juga disertai dengan jaminan hak anak selama masa pengasuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Perlindungan Anak.

Batas usia minimal perkawinan yang berlaku sejak putusan MK adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 19 tahun untuk perempuan, dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan tersebut berlaku, pembentuk undang-undang harus merevisi dan mengubah ketentuan usia minimal perkawinan.

Perlunya perubahan kebijakan batas usia perkawinan juga didasarkan atas fakta bahwa semakin meningkatnya angka perkawinan anak akan menyebabkan kesulitan bagi Negara dalam mewujudkan kesepakatan agenda pembangunan universal baru yang tertuang dalam dokumen Transforming our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisi 17 tujuan dengan 169 target. Maksud agenda ini bahwa pada tahun 2030 tidak ada satu negarapun yang tertinggal dalam rangka pengentasan kemiskinan, salah satunya menekan angka perkawinan anak sebagaimana tertuang dalam tujuan kelima SDGs yakni “mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, termasuk penghapusan perkawinan anak.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bank Dunia. Rangkuman Pembangunan Berperspektif Gender, Laporan Penelitian, 2000.

Farida Hanum. Kajian dan Dinamika Gender, Intrans Publishing, Malang, 2018.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender ”Perspektif al-Quran”, Paramadina, Jakarta, 2001.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tanggal 13 Desember 2018.

Wahbah Alzuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy, Dar al-Fikr, Beirut, 1986.

Ziba Mir-Hosseini dkk. Reformasi Hukum Keluarga Islam: Perjuangan Menegakkan Keadilan Gender di Berbagai Negeri Muslim, LKIS, Yogyakarta, 2017.

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *