Menuju Pemilihan Presiden yang Demokratis
Alimuddin, S.H.I,.M.H
Pengamat Hukum & Politik/Dosen Univ.Battuta Medan
Sejak tahun 2004, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Secara normatif, Indonesia telah berupaya mewujudkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara lebih demokratis, sebagaimana tercermin melalui kebebasan dan keterlibatan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Namun, dalam praktik pilpres 2004 dan 2009, ditemukan beberapa permasalahan. Tulisan ini bermaksud mengidentiϐikasi sejumlah permasalahan pilpres, sekaligus menggagas formula untuk terwujudnya penyelenggaraan pilpres yang lebih demokratis dan aspiratif.
Selanjutnya, dalam Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. UU a quo yaitu UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres)2 yang menjadi landasan penyelenggaraan pilpres 2004. Saat pilpres 2009, UU No. 23 Tahun 2003 dicabut dan diganti dengan UU No. 42 Tahun 2008.3 Selain UU No. 42 Tahun 2008, penyelenggaraan pilpres 2009 juga dasarkan pada UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.4 Pada pilpres 2014 ini, masih menggunakan UU No. 42 Tahun 2008, meski pada awal 2013 DPR mengagendakan perubahan, namun sebagian besar fraksi menolak untuk dilakukan perubahan.
Secara normatif, adanya perundang-undangan tentang pilpres memberi gambaran bahwa Indonesia telah berupaya mewujudkan pengisian jabatan presiden dan wakil presiden secara lebih demokratis melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (pemilih). Nilai demokrasi tercermin melalui kebebasan dan keterlibatan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam praktik pilpres 2004 dan 2009, ditemukan beberapa permasalahan, diantaranya masih ada warga negara yang tidak terdaftar dan tidak dapat mengikuti pilpres, proses penjaringan dan penyaringan bakal calon presiden dan wakil presiden masih bersifat elitis dan belum partisipatif dan terbuka,6 masih adanya warga negara yang belum menjalankan hak pilihnya, 7 pilihan rakyat (pemilih) belum aspiratif, dan penyelenggara pemilu yang belum sepenuhnya mandiri dalam menjalankan tugasnya.
Tulisan ini bermaksud menguraikan dan membahas formula untuk terwujudnya penyelenggaraan pilpres yang lebih demokratis dan aspiratif. Oleh karenanya, uraian pada bagian pembahasan dibagi dalam tiga bagian, yaitu (i) demokrasi dalam kaitannya dengan pengisian jabatan presiden dan wakil presiden; (ii) problematika penyelenggaraan pilpres 2004 dan 2009; dan (iii) formula menuju pilpres yang lebih demokratis dan aspiratif.
Terkait fokus tulisan ini, demokratisasi lebih diteropong pada tataran pilpres, yang berkenaan dengan pengisian jabatan, sebagai salah satu anasir dalam hukum tata negara. Menurut Harun Alrasid14 dalam suatu negara demokrasi, pada umumnya pengisian jabatan presiden dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat (korps pemilih), yang diatur dengan perundangundangan. Calon presiden pada negara demokrasi pada umumnya ditentukan melalui seleksi yang dilakukan oleh partai politik.
Terkait dengan demokratisasi dalam pengisian jabatan presiden dan wakil presiden, instrumen lain yang cukup asasi dan relevan dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia yaitu pilihan bentuk pemerintahan republik dan bukan monarki. Dalam pandangan Bagir Manan, secara asasi paham republik (republicanism) mengandung makna pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan (state institutions) dalam republik harus senantiasa mencerminkan penyelenggaraan oleh dan untuk kepentingan umum. Kepala negara sebagai salah satu pemangku jabatan dalam pemerintahan republik harus mencerminkan kehendak umum dan ditentukan berdasarkan kehendak umum (publik).
Sebagai kesimpulan : (1) Pilpres yang telah menjadi komitmen konstitusional bangsa dan negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, yang tampak melalui keikusertaan rakyat (pemilih) dalam menentukan pemimpin nasional (presiden dan wakil presiden). (2) Praktik penyelenggaraan pilpres 2004 dan 2009 masih menyisakan problematika, berkenaan dengan: (a) masih banyaknya warga negara yang memenuhi syarat namun tidak terdaftar sebagai pemilih; (b) penjaringan dan penyaringan di tingkat partai politik yang masih elitis; (c) besaran presidential threshold yang terkesan mengutamakan partai politik besar; (d) tiadanya peluang bagi calon perseorangan untuk menjadi kontestan dalam pilpres; dan (e) masih ada pemilih yang menjalankan hak pilihnya dibawah tekanan atau paksaan. (3) Dalam rangka mewujudkan pilpres yang lebih demokratis dan aspiratif, beberapa hal berikut patut menjadi perhatian bersama: pembentukan norma pemilu yang berkualitas dan responsif, penyelenggara yang berkualitas, mandiri, tidak memihak dan berintegritas, pemilih yang rasional, cerdas dan bermoral, peran pemerintah yang lebih diintensiϐkan, penjaringan dan penyaringan calon di tingkat partai yang benar-benar terbuka dan demokratis, mempertimbangkan peluang calon perseorangan, pengawasan publik yang intensif dan penegakan hukum yang konsisten.