Ada dan Tiada UU Sistem Perbukuan Nasional
Alimuddin
Pemimpin Redaksi Deal Channel
Prolog
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan akan diubah tahun 2021 mendatang, perubahan tersebut cukup signifikan karena berkaitan dengan payung hukum penulis, penerbit, dan lembaga pelatihan bidang kepenulisan dan perbukuan.
Sistem Perbukuan adalah tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku. Sedangkan yang dimaksud dengan buku adalah Buku adalah karya tulis danjatau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala.
Pembahasan sistem perbukuan harus dikaji dalam perspektif sistem hukum nasional di Indonesia. Dalam mengkaji sistem hukum, harus diperhatikan tiga hal utama, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Menurut Lawrence M. Friedman, substansi hukum ialah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan berkaitan erat dengan sistem perbukuan, penerbitan, dan lembaga kepenulisan. Struktur hukum ialah lembaga yang berbadan hukum dan berkaitan dengan kepenulisan, perbukuan, dan penerbitan. Kultur hukum ialah budaya di masyarakat yang berkaitan dengan aspek kepenulisan dan perbukuan.
Hadirnya UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, memberikan angin segar bagi penulis, penerbit, dan lembaga kepenulisan dalam menyampaikan langkah kreatif. Upaya tersebut disambut baik oleh pemerintah dengan merevisi undang-undang perbukuan nasional di tahun 2021 mendatang.
Saat ini, badan legislasi nasional (Balegnas) DPR RI sedang merumuskan beberapa pasal perubahan terkait regulasi di bidang perbukuan dan kepenulisan. Sedikit pembahasan tersebut, menyitir eksistensi penulis dan buku ajar. Selebihnya lembaga kepenulisan dan penerbitan harus berbadan hukum dan hasil karya terbitan harus bernomor ISBN dan barcode.
Pada konteks tersebut maka pembentukan undang-undang merupakan salah satu unsur penting disamping unsur-unsur lainnya dalam rangka pembangunan hukum nasional, sementara itu untuk menghasilkan undang-undang yang sesuai dengan dinamika masyarakat, lebih-lebih lagi pada era globalisasi dewasa ini yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi, dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang ada (secara horizontal), serta tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 (secara vertikal).
Untuk mewujudkan undang undang seperti tersebut di atas, maka pembentukan undang-undang perlu dilakukan secara terencana, terpadu dan sistematis melalui Program Legislasi Nasional, dengan memperhatikan skala prioritas sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Prolegnas merupakan pedoman dan pengendali penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan Pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan Prolegnas tidak saja akan menghasilkan peraturan perundangundangan yang diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maupun di masa yang akan datang.
Ada dan Tiada UU Perbukuan Nasional
Dasar hukum untuk melakukan kegiatan Prolegnas ini adalah sebagaimana disebutkan Pasal 15 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatakan bahwa: “perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu Prolegnas”. Dengan demikian Prolegnas merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI bersama Pemerintah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang sesuai dengan amanat konstitusi.
Adapun pengertian dari Prolegnas tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengartikan Program 4 Legislasi Nasional sebagai suatu instrumen atau suatu mekanisme, dikatakan dalam pasal tersebut bahwa: “Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.”
Disamping itu, secara operasional Program Legislasi Nasional sering dipakai dalam arti yang merujuk pada materi atau substansi rencana pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini Prolegnas adalah daftar rencana pembentukan undang-undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Rencana legislasi dimaksud adalah: “Usulan-usulan berupa rencana pembentukan peraturan perundangundangan, baik untuk jangka panjang, menengah maupun jangka pendek, yang akan dibuat atau disusun diajukan oleh departemen/lembaga pemerintah non departemen dan lembaga atau institusi-institusi pemrakarsa lainnya.“
Selain dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004, juga diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas, baik yang dilakukan penyusunannya oleh DPR (dikoordinasikan oleh Baleg) maupun penyusunan di lingkungan Pemerintah (dikoordinasikan oleh Menteri ).
Persoalan yang dihadapi saat ini adalah, tingkat keberhasilan sampai ditetapkan menjadi undang-undang sulit sekali ditentukan. Di5 lingkungan Pemerintah, tidak ada jaminan RUU yang disampaikan ke DPR sesuai dengan urutan atau rencana yang ditetapkan. Departemen pemerintahan kecenderungan melakukan kegiatan sendiri-sendiri (meskipun sudah agak berkurang) untuk mempercepat penyampaian RUU ke DPR tanpa memperhatikan urutan-urutan atau koordinasi dengan Departemen lain.
Sekretariat negara sebagai muara dari semua Naskah RUU (untuk diteruskan kepada Presiden), selain menjadi semacam “bottle neck” juga mungkin tidak lagi “manageble” pada saat RUU begitu banyak diajukan. Demikian pula pembahasan di DPR, pengalaman menunjukkan tidak selalu mudah menetapkan “time schedule” penyelesaian RUU di DPR. Ada RUU yang melampaui beberapa masa sidang. Apalagi kalau DPR lebih tertarik pada pragmatisme politik yang cenderung lebih kepada pencarian keuntungan politik baik yang dapat dinilai langsung dengan uang atau tidak, hal seperti ini membuat proses pembentukan sebuah undang undang berlaju sangat lambat.
Selanjutnya, berkaitan dengan perubahan yang substansial terhadap sistem ketatanegaraan kita, yang salah satunya adalah beralihnya kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden2 kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang”. Tidak hanya sampai disitu, sebagai konsekuensi keniscayaan otonomi daerah yang teradopsi pada tingkat konstitusi (Pasal 18,18A dan 18B UUD 1945), maka daerah juga memiliki peran yang sangat besar dalam proses pembentukan undang undang ditandai dengan kelahiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Oleh karenanya fungsi utama legislasi sebenarnya tidak hanya pada DPR tetapi juga pada DPD walaupun perannya hanya sebatas mengajukan dan ikut membahas terhadap sebuah program legislasi yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D UUD 1945).
Dengan perubahan tersebut peran DPR lebih kuat bila dibandingkan konstitusi sebelumnya. Disadari hal ini menjadi keniscayaan sebagai sebuah penguatan prinsip daulat rakyat ketika DPR menjadi salah satu representasinya disamping Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kuatnya peran konstitusional DPR dalam pembangunan hukum, khususnya di bidang materi hukum, juga telah dinyatakan dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Adapun proses pembuatan undang-undang sebagai wujud pembangunan hukum adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran kementeriannya) dan legislatif (DPR dan DPD).
Epilog
Dari uraian tersebut di atas, penulis memandang perlu untuk menyampaikan informasi ini kepada pembaca, agar kemudian langkah strategis dan taktis di bidang kepenulisan dapat dimaksimalkan, baik secara substansi hukum yaitu peraturan perundang-undangan, struktur hukum lembaga kepenulisan dan kultur hukum berkaitan dengan budaya masyarakat untuk membaca dan menulis.