NILAI-NILAI ETIK DALAM SISTEM PEMBERITAAN DI PERADILAN INDONESIA

NILAI-NILAI ETIK DALAM SISTEM PEMBERITAAN

DI PERADILAN INDONESIA

Read More

Oleh: Alimuddin

(Pemimpin Redaksi Deal Channel)

 

PROLOG

Sangat penting dipahami bahwa semua orang harus mendapatkan perlakuan yang adil, jika mereka dituduh melakukan sesuatu yang salah atau melukai orang lain dengan cara tertentu, maka hal itu harus dinyatakan belum bersalah sampai ia benar-benar dijatuhi hukuman. Mereka harus bisa yakin bahwa mereka akan dibebaskan dari tuduhan. Jika tidak, semua orang akan hidup dalam ketakutan akan hukum, bukannya merasa bahwa hukum ada untuk melindungi mereka.

Pengadilan adalah tempat di mana masyarakat mempekerjakan orang-orang yang terlatih khusus untuk memutuskan apakah seseorang benar-benar melakukan kesalahan atau tidak. Jika kejahatan telah dilakukan, maka polisi perlu menemukan orang yang bertanggung jawab; tapi bukan tugas polisi untuk menghukum orang itu. Itulah tugas pengadilan, dan sebelum mereka menghukum siapa pun, mereka perlu diyakinkan bahwa polisi telah menangkap orang yang tepat – orang yang benar-benar melakukan kejahatan.

Setiap negara harus memiliki pengadilan yang adil, tidak ada yang mau mengizinkan terjadinya gangguan di luar ataupun di dalam pengadilan, termasuk masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi. Salah satu representasi dari masyarakat demokrasi ialah pers yang bebas, tepat, dan adil.

Ini berarti bahwa jurnalis yang bekerja di banyak negara dan menganut sistem hukum tertentu – terutama di persemakmuran – biasanya tidak diizinkan untuk mempublikasikan atau menyiarkan hal-hal tertentu selama proses persidangan, dari saat seseorang akan didakwa melakukan pelanggaran hingga saat pengadilan selesai menanganinya. Tidak demikian di Indonesia, prinsip-prinsip jurnalistik menjadi tolok ukur dalam sistem pemberitaan. Kriteria UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta Pedoman Media Siber patut dijunjung tinggi. Selain itu, hadirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan menjadi jawaban tidak ada larangan media melakukan kerja jurnalistiknya sepanjang tidak gaduh atau menimbulkan gangguan.

Ternyata nilai-nilai etika tetap menjadi panduan dalam melakukan kegiatan jurnalistik, baik yang dilakukan oleh pers luar ataupun jurnalis warga peradilan itu sendiri. Jika hal itu tidak disimak secara seksama, maka kekhawatiran Dyah Permana Erawaty dan Irwansyah tentang media online yang sedikit demi sedikit mendekati sistem aggregator akan terwujud. Berdasarkan laporan dari Outsell Tahun 2009, 57 persen pengguna media berita beralih ke sumber digital. Mereka cenderung beralih ke aggregator (31 persen) daripada ke situs surat kabar (8 persen) atau situs berita lainnya (18 persen). Hal itu akan menjadi ancaman bagi lembaga pengadilan jika tidak ada rambu-rambu dalam bentuk etika, karena para penulis berita semakin mudah menuliskan dan menyebarkannya tanpa sadar bahwa yang mereka tulis belum pantas dipublikasikan karena bertentangan dengan nilai-nilai jurnalistik.

Tulisan ini memberikan tawaran pemikiran tentang agregasi berita sebagai implikasi dari media online yang semakin memiliki posisi tawar. Selain itu, etika jurnalistik dan nilai-nilai etik dalam menulis berita harus dijunjung tinggi, jika tidak lembaga peradilan kita akan tercemar.

 

SISTEM PEMBERITAAN DI PERADILAN KITA

Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum (legal system) adalah satu kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum. Secara sederhana, struktur hukum berkaitan dengan lembaga-lembaga atau institusi-institusi pelaksana hukum atau dapat dikatakan sebagai aparat penegakan hukum. Substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Unsur ketiga dalam sistem hukum adalah Kultur hukum yakni kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum. Kultur hukum tersebut berada pada masyarakat maupun pada aparat penegak hukum. Pada prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa sebanding dengan kemajuan yang dicapai oleh bangsa bersangkutan karena hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan.

Lebih lanjut Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik, dimana “struktur hukum” adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu dan “kultur hukum” adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum (law enforcement) merupakan pusat “aktifitas” dalam kehidupan berhukum.

Jika teori Friedman tersebut ditransformasikan dalam sistem pemberitaan di lembaga peradilan kita, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Struktur pemberitaan adalah media online yang ada di satuan kerja masing-masing, baik dalam lingkungan pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara dan pengadilan militer. Media online itu dapat berupa website, PTSP yang terintegrasi dalam layanan elektronik, media center yang terkoneksi dengan perangkat internet, blog, majalah digital, Instagram, facebook, whatsapp, YouTube dan Podcast;
  2. Substansi pemberitaan adalah berita-berita seputar kegiatan satuan kerja di daerah dan kegiatan petinggi di Mahkamah Agung, berita tersebut dapat berupa berita lisan, tertulis di media online ataupun video dan foto jurnalistik;
  3. Kultur pemberitaan adalah jurnalis warga peradilan yang bertugas menulis berita, sosok juru bicara pengadilan, tim humas, pengelola website dan pimpinan pengadilan yang memahami bahwa pemberitaan itu adalah perlu.

Data observasi : Sistem pemberitaan yang ada di lembaga peradilan kita

 

Bagan tersebut di atas, memperjelas sistematika pemberitaan di lembaga peradilan kita saat ini. Titik orbit tersebut mengilustrasikan bahwa badan peradilan di bawah Mahkamah Agung senantiasa diselimuti oleh isu-isu nasional dan daerah yang silih berganti, ada isu yang berdampak buruk (warna merah), ada isu yang menguntungkan (warna kuning), ada isu yang berdampak baik (warna hijau), dan ada isu yang tidak penting (warna biru). Jika isu-isu tersebut tidak direspon, maka yang terjadi adalah aggregator. Media mainstream yang berada di luar pengadilan akan menulis tanpa sadar tentang lembaga peradilan kita. Dampak informasi yang disebarkan mereka, akan merugikan sistem pemberitaan yang telah dibangun oleh Mahkamah Agung (red.humas).

Oleh karena itu, perlu diingat bahwa media massa di Indonesia diatur oleh regulasi UU Perfilman (33/2009), UU Pers (40/1999), dan UU Penyiaran (32/2002). Ketiga peraturan perundangan ini dibuat tidak berselang lama setelah berakhirnya Orde Baru (Orba). Regulasi media merupakan kombinasi dari standar dan kode etik media yang diperlukan untuk mendukung kebebasan berekspresi dan proses pemantauan perilaku media. Media yang terdiri atas surat kabar, majalah, tabloid, televisi, dan radio dilihat sebagai pengawas pemerintah dan pelindung nilai-nilai sosial. Thomas Carlylle menyatakan bahwa selain organ Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, the fourth estate adalah Pers. Berbeda dengan ketiga organ negara yang lain, pers adalah pranata sosial yang tidak menguasai publik. Pers berperan dalam menjalankan fungsi dalam ruang publik terkait informasi (menyampaikan dan juga menyebarkan), serta fungsi lainnya seperti harmonisasi publik dan lain-lain.

Kendatipun penulis berita di website pengadilan, pengelola website, tim kehumasan di pengadilan, penulis berita di blog, whatsapp, Instagram, facebook, dan YouTube tidak diatur dalam undang-undang pers, namun hemat saya kegiatan jurnalistik yang mereka lakukan kemudian disebarkan di media online dapat disebut sebagai jurnalis warga peradilan atau penulis berita media online mewakili lembaga pengadilan masing-masing.

Tesis saya tersebut, bersumber dari terminologi makna pers dan media jurnalistik itu sendiri. Bahwa yang dimaksud dengan pers dan media jurnalistik, sesuai bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (sering disingkat 6 M) baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Media online disebut sebagai pers sesuai dengan bunyi butir 1a. Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) (Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012) yang menyatakan Media Siber (online) adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanaan kegiatan jurnalistik (meliputi 6 M), serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.

Sistem pemberitaan yang diterapkan di lembaga peradilan telah sesuai dengan ketentuan UU Pers dan PPMS tersebut di atas, maka sebagai lembaga yudikatif yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya berperan menulis, menyebarkan dan mempublikasikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat.

 

ETIKA PEMBERITAAN DI PERADILAN KITA

Etika dalam Islam disebut akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Dengan demikian, akhlak merupakan gambaran bentuk lahir manusia. Sedangkan menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam (akhlak Islam) adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan Allah pada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian disampaikan pada umatnya. Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang, yakni telah biasanya dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan. Perbuatan tersebut terkadang berbentuk baik dan terkadang juga berbentuk buruk.

Pemahaman selanjutnya ialah korelasi antara etika dalam penegakkan hukum, konsep dari suatu paradigma etika profesi yang dikontruksi dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip etika jurnalistik secara normatif. Seperti dikatakan A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep tauhid. Oleh karena itu bagi seorang jurnalis warga peradilan, penulis berita, juru bicara pengadilan, tim humas dan tim website dalam melaksanakan profesinya harus taat pada prinsip-prinsip peradilan yang telah digariskan oleh Alquran, sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.

Beberapa nilai etik yang dapat menjadi acuan dalam melakukan kegiatan jurnalistik bagi seorang jurnalis warga peradilan, antara lain:

 

Pertama; nilai keadilan

Keadilan dalam hukum Islam merupakan perpaduan yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Hukum Islam tidak menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri dan karenanya juga melindungi kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan masyarakat, karena manusia hidup berada di tengah perjuangan dalam diri sendiri dan orang lain dalam menegakkan keadilan. Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan keadilan karena itu, berlaku adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip Islam.

 

Kedua; kebenaran

Kebenaran selain mengandung makna kebenaran lawan kesalahan, mengandung juga unsur kebajikan dan kejujuran. Nilai kebenaran adalah merupakan nilai yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam Alquran aksioma kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat ditegaskan atas keharusan memenuhi perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam konteks etika nilai dalam pemberitaan (etika jurnalistik) yang harus di lakukan adalah sikap dan perilaku yang benar dari proses peliputan berita, foto eviden, wawancara jika diperlukan, menulis, merekam video, menyebarluaskan, mempublikasikan di media online harus benar-benar sesuai hukum yang berlaku.

Ketiga; pertanggung jawaban

Tanggung jawab merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk mempertahankan kualitas keseimbangan dalam masyarakat. Karena manusia yang hidup sebagai mahluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan.

Pada konteks kekinian perlu ditelaah lebih lanjut adalah sisi pertanggungjawaban yang bersifat kolektif duniawi. Alquran hanya menyampaikan pesan-pesan kepada umat manusia sebagai individu-individu mandiri, tetapi juga memberikan bimbingan tentang kehidupan kolektif. Dalam Islam ada pokok-pokok ajaran tentang etika pergaulan antar manusia, dan dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Mengabaikan ajaran-ajaran moral tersebut akan berakibat tidak hanya penderitaan batin dan siksaan (akhirat) secara individual, tetapi secara kolektif (generasi) mereka juga akan menerima hukuman, sekarang di dunia ini juga.

Hubungan etika dan hukum sangat erat. Etika dan norma hukum mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar manusia berbuat baik sesuai dengan norma masyarakat. Selanjutnya, bagi siapa yang melanggar akan dikenai sanksi. Pada dasarnya, etika lebih luas daripada hukum. Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika. Akan tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum. Jika etika diumpamakan sebagai samudera, maka hukum merupakan kapalnya.

Dunia pers Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan itu diikuti penambahan jumlah media yang melakukan peliputan, cakupan wilayah yang diliput, teknologi yang dimanfaatkan untuk peliputan, dan pertumbuhan media daring (online). Perkembangan itu juga diiringi perkembangan etika dan peraturan hukum yang menyertai wartawan melakukan tugas-tugas profesinya.  

Di bidang peraturan perundang-undangan, wartawan bukan hanya terikat pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetapi juga UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. Tentu saja, ada beberapa UU lain yang berhubungan dengan kegiatan jurnalistik dan perusahaan pers yang patut dipahami saat menjalankan tugas.

Tulisan ini lebih berfokus pada etika pers karena etika ini berlaku untuk wartawan media cetak, wartawan televisi, dan wartawan media daring dalam menjalankan tugas-tugas profesinya. Mengutip Rosihan Anwar dalam Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik (1996), kode etik berguna untuk:

  1. Menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai, kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain.
  2. Menentukan bagi dirinya sendiri bagaimana ia akan hidup, bagaimana ia akan melaksanakanpekerjaan kewartawanannya, bagaimana ia akan berpikir tentang dirinya sendiri dan tentang orang lain, bagaimana ia akan berperilaku dan bereaksi terhadap orang-orang serta isu-isu di sekitarnya.

Beberapa poin penting yang harus diperhatikan bagi seorang jurnalis warga peradilan, penulis berita, dan pengelola website sebelum mempublikasikan karya jurnalistik di media online, yaitu :

 

Independensi, integritas, dan profesionalisme

Independensi dan profesionalisme merupakan dua kunci yang perlu dimiliki. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, atau intervensi dari siapapun. Dalam perkembangannya independensi itu bukan hanya independen dari pihak yang diliput, tetapi juga independensi dari kelas atau status ekonomi, serta independensi dari prasangka ras, etnis, agama, dan gender. Independen itu bukan berarti tidak berpihak. Pers berpihak pada kebenaran.

Profesionalisme berkaitan dengan cara kita mendapatkan berita. Misalnya, menyebutkan identitas diri dalam tulisan; menghormati hak privasi, dan tidak melakukan plagiasi. Integritas menyangkut kepribadian kita yang menjunjung tinggi etika dan hukum dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Misalnya, kita tidak boleh menyalahgunakan profesi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

 

Akurasi penulisan berita

Kita mengumpulkan informasi untuk disajikan dalam bentuk berita. Tidak semua informasi yang diperoleh benar dan harus ditampilkan. Karena itu, verifikasi terhadap kebenaran informasi adalah penting. “Intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi”, tulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) dalam buku mereka yang terkenal “Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik”.

Berita yang ditulis juga harus memenuhi kriteria tertentu, antara lain:

  1. Hal ini berarti dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
  2. Hal ini berarti semua pihak yang disebut dalam berita mempunyai kesempatan yang sama. Wartawan, karena itu, wajib melakukan cover both sides.
  3. Tidak beritikad buruk. Dalam hal ini tidak ada niat wartawan secara sengaja dan semata-mata menulis berita itu untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
  4. Bukan bohong. Suatu berita disebut bohong jika sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai fakta yang terjadi tetapi ia tetap menuliskannya seolah-olah apa yang dia tulis itu fakta.
  5. Bukan fitnah. Berita yang bersifat fitnah adalah berita yang berisi tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

 

Fakta versus opini

Kode Etik Jurnalistik juga menekankan pentingnya menulis berita secara akurat, tidak mencampuradukkan fakta yang diperoleh di lapangan dengan opini pribadi. Apalagi jika opini dimaksud bersifat menghakimi. Lembaga peradilan kita telah tersedia desk pengaduan, kolom opini di website, kolom opini di YouTube, kolom opini di email blog dan facebook, kolom hak jawab di Instagram, semua itu bagian dari penyampaian pesan dari masyarakat kepada kita atas tulisan yang kita publikasikan.

 

Pedoman pemberitaan media siber

Untuk mengikuti perkembangan media daring, Dewan Pers juga sudah menerbitkan Pedoman Pemberitaan Media Siber. Pada prinsipnya sama dengan Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran. Penekanannya adalah pada verifikasi dan keberimbangan berita.

Verifikasi bisa dikecualikan jika terpenuhi syarat berikut: (i) berita benar-benar `mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak; (ii) sumber berita yang pertama adalah sumber berita yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten; (iii) subjek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan/atau tidak dapat diwawancarai; atau (iv) media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.

 

EPILOG

Setali tiga uang. Sebagai benang merah dari tulisan ini, siapapun boleh menulis berita, baik pimpinan pengadilan, hakim, panitera, sekretaris, panitera muda, kepala sub bagian, aparatur sipil negara, bahkan PPNPN. Akan tetapi, jangan sekadar menulis berita saja, pedomani etika jurnalistik dan nilai-nilai profesi kita. Gemar menulis itu perlu, namun hasil tulisan harus bermanfaat bagi masyarakat.

Sistem pemberitaan yang berlaku di Mahkamah Agung, sepantasnya berlaku di lingkungan peradilan tempat kita bekerja. Fungsikan PPID dan PTSP, gerakkan juru bicara pengadilan dan humas, motivasi penulis berita, pengelola website, dan tim IT di satuan kerja kita karena media online akan hidup saat mereka tertawa, inovasi aplikasi baru akan lahir saat mereka tersenyum.

Berhati-hatilah menggunakan media online; facebook, Instagram, YouTube, blog, podcast, website, dan whatsapp, karena sekali klik dampaknya akan berpengaruh pada kebijakan lembaga kita.

Semoga sumbangsih pemikiran ini dapat berguna bagi program kehumasan di lembaga peradilan kita. Wallahua’lam bishawab.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *