DEAL GENDER | Republik Rakyat Tiongkok (Cina), negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, telah mencatat kemajuan pesat dalam berbagai sektor—dari teknologi hingga pendidikan. Namun, di balik pencapaian luar biasa tersebut, perjuangan kesetaraan gender tetap menjadi isu sentral yang terus berkembang. Negara ini menghadirkan wajah ganda: di satu sisi, peluang bagi perempuan semakin terbuka, tetapi di sisi lain, hambatan struktural dan budaya patriarki masih kuat mencengkeram.
Contents
Kemajuan yang Patut Diapresiasi
Cina telah lama mengakui pentingnya kesetaraan gender sebagai bagian dari pembangunan nasional. Sejak era Mao Zedong, slogan terkenal “Perempuan memikul setengah langit” menjadi semacam simbol komitmen negara terhadap partisipasi perempuan dalam pembangunan. Kini, lebih dari 70% perempuan di Cina terlibat dalam angkatan kerja, menjadikannya salah satu tingkat partisipasi tertinggi di dunia.
Perempuan juga telah membuat kemajuan signifikan di sektor pendidikan. Statistik terbaru menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan di pendidikan tinggi bahkan melampaui laki-laki dalam beberapa bidang. Di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, perempuan mendominasi jurusan-jurusan sains, teknologi, hingga keuangan.
Selain itu, kebijakan negara seperti Maternal Protection Law dan Anti-Domestic Violence Law menunjukkan adanya kesadaran negara dalam menciptakan perlindungan hukum bagi perempuan, termasuk perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan diskriminasi di tempat kerja.
Namun, Tantangan Nyata Masih Ada
Meskipun ada kemajuan, kesetaraan gender di Cina belum sepenuhnya tercapai. Salah satu tantangan utama adalah diskriminasi di tempat kerja, khususnya dalam rekrutmen, promosi, dan jenjang karier. Banyak perusahaan secara terang-terangan memprioritaskan kandidat laki-laki, terutama dalam posisi strategis. Stereotip bahwa perempuan akan “tidak fokus bekerja setelah menikah dan memiliki anak” masih banyak dijadikan alasan dalam proses seleksi kerja.
Laporan Human Rights Watch pada 2022 menyebutkan bahwa iklan lowongan pekerjaan di sejumlah sektor publik dan swasta di Cina masih menunjukkan preferensi berbasis gender, meskipun hal tersebut dilarang oleh undang-undang.
Selain itu, perempuan masih sangat kurang terwakili dalam struktur politik. Dalam Kongres Rakyat Nasional, hanya sekitar 25% anggota adalah perempuan. Di tingkat lokal dan provinsi, angka ini bisa jauh lebih rendah, menandakan masih terbatasnya ruang pengambilan keputusan bagi perempuan di ranah politik.
Budaya Patriarki dan Tekanan Sosial
Tekanan budaya dan nilai-nilai patriarki juga memperkuat ketimpangan gender. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul istilah “sheng nu” atau “perempuan sisa” untuk merujuk pada perempuan berusia 27 tahun ke atas yang belum menikah. Label ini menambah tekanan sosial bagi perempuan, meskipun banyak di antaranya telah sukses dalam karier dan pendidikan.
“Tekanan untuk menikah, menjadi ibu rumah tangga, atau tunduk pada norma tradisional masih kuat. Negara memang menyediakan peluang, tetapi masyarakat belum sepenuhnya berubah,” ujar Dr. Lin Xiaoying, pakar sosiologi dari Fudan University, Shanghai.
Gerakan Perempuan di Cina: Bergerak dalam Senyap
Meski ruang gerak terbatas, gerakan kesetaraan gender di Cina terus tumbuh—meskipun sering kali dalam bentuk halus dan tidak konfrontatif. Media sosial seperti Weibo menjadi ruang penting bagi perempuan muda untuk menyuarakan pengalaman mereka, mulai dari pelecehan, ketidaksetaraan upah, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Kampanye #MeToo juga sempat menggema di Cina, meski dibatasi oleh sensor negara. Beberapa kasus pelecehan yang melibatkan figur publik berhasil mencuri perhatian, dan menumbuhkan kesadaran baru tentang hak-hak perempuan.
Arah ke Depan: Mendorong Reformasi dan Kesadaran Publik
Pemerintah Cina dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif sambil memastikan bahwa separuh populasinya—perempuan—tidak tertinggal. Reformasi hukum, penegakan regulasi anti-diskriminasi, dan edukasi publik menjadi kunci untuk mewujudkan kesetaraan yang lebih nyata.
Sebagaimana kata pepatah Cina kuno, “air yang tenang menghanyutkan kapal”—maka perubahan sosial di Cina, termasuk kesetaraan gender, kerap bergerak secara perlahan namun pasti. Kini, dunia menanti apakah Negeri Tirai Bambu mampu menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan keadilan sosial bagi seluruh warganya, tanpa memandang gender. (ath)