Gender dan pendidikan di Indonesia: Kemajuan dengan lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan

DEAL GENDER | Indonesia telah membuat banyak kemajuan menuju kesetaraan gender selama satu dekade terakhir, dengan peningkatan angka melek huruf, pendaftaran sekolah, dan lapangan kerja, serta kebijakan untuk membuka jalan bagi masyarakat yang lebih berkeadilan gender.

Pada tahun 1970-an, Indeks Paritas Gender (GPI) untuk tingkat pendaftaran sekolah (rasio anak perempuan dan anak laki-laki yang terdaftar) untuk anak usia 7-12 tahun adalah 0,89, menandakan perbedaan yang signifikan untuk anak laki-laki. Kesenjangan itu bahkan lebih lebar pada anak yang lebih besar. Namun, pada tahun 2019, Indonesia mencapai paritas gender dalam partisipasi pendidikan di tingkat nasional, dengan GPI 1,00 untuk angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun.

Read More

Sebuah studi Bank Dunia baru-baru ini, didukung oleh pemerintah Australia, memeriksa isu gender dalam pendidikan dan menemukan bahwa sementara rata-rata nasional telah meningkat, perbedaan yang signifikan ada di tingkat subnasional, baik anak laki-laki maupun perempuan.

Temuan kunci dan takeaways

Partisipasi sekolah: Anak laki-laki dan perempuan menghadapi kekurangan di berbagai daerah. Misalnya, di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah, 61 persen anak laki-laki usia 16 hingga 18 tahun bersekolah, sedangkan persentase anak perempuan yang bersekolah adalah 95 persen. Namun, di daerah lain anak perempuan juga menghadapi kekurangan. Misalnya, di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, persentase anak laki-laki yang terdaftar sekitar satu setengah kali lipat dari persentase anak perempuan yang terdaftar.

Kesenjangan sosial ekonomi dan geografis tampaknya memainkan peran penting pada apakah siswa menyelesaikan sekolah mereka. Remaja usia sekolah menengah pertama dari rumah tangga termiskin memiliki kemungkinan putus sekolah empat kali lebih tinggi daripada mereka yang berasal dari rumah tangga terkaya. Kondisi terkait ekonomi diamati menjadi alasan utama untuk tidak bersekolah. Populasi putus sekolah juga terkonsentrasi pada anak-anak yang tinggal di pedesaan, daerah terpencil.

Perkawinan anak: Anak perempuan terus terkena dampak yang tidak proporsional, dengan variasi yang besar di tingkat subnasional. Pernikahan dini dan sekolah berkorelasi terbalik, terutama untuk anak perempuan, karena banyak yang putus sekolah jika mereka menikah. Meskipun angka perkawinan anak di Indonesia telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, angka tersebut masih tinggi. Studi ini menemukan variasi yang luas di tingkat sub-nasional. Sebagai contoh, Sulawesi Barat memiliki prevalensi pernikahan dini tertinggi pada tahun 2022, dengan 34,2 persen wanita pernah kawin berusia 20-24 menikah sebelum usia 18 tahun. Sebaliknya, Kepulauan Riau memiliki angka yang lebih rendah namun tetap signifikan sebesar 11,7 persen.

Bullying berdampak berbeda pada anak laki-laki dan perempuan: Studi ini mengkonfirmasi temuan dari studi sebelumnya tentang intimidasi di sekolah. Sementara anak laki-laki memiliki risiko bullying/kekerasan fisik yang lebih tinggi, anak perempuan, sebagai perbandingan, lebih mungkin mengalami kekerasan berbasis seksual dan kekerasan emosional/psikologis.(ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *