DEAL FOKUS | Sejak disahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, profesi ini semakin banyak digemari terutama para sarjana hukum dan sarjana syariah yang baru saja lulus dari kampus. Hampir seluruh alumni memilih profesi ini baik sebagai tujuan hidup ataupun batu loncatan.
Namun, tiga tahun terakhir, profesi Advokat syariah kurang peminat, padahal jumlah alumni sarjana syariah baik lulusan Universitas Islam Negeri ataupun Sekolah Tinggi Agama Islam swasta terus bertambah setiap tahunnya. Hal itu disebabkan banyak problematika di lapangan.
Menurut salah seorang Advokat syariah Anas Mahmudi, S.H.I, peminat para lulusan UIN atau STAIS menjadi advokat saat ini mengalami penurunan, sejalan dengan roda perekonomian negara yang sulit.
Ada beberapa faktor menurutnya, pertama karena kemampuan para alumni di bidang teknis yustisial kurang diperhatikan sejak dulu belajar di kampus. Kedua, menjadi advokat sama seperti menjadi pengusaha, pribadi masing-masing harus berdikari, mandiri, siap menghadapi tantangan hidup.
“Itu mungkin sulit mereka terima, para alumni maunya siap saji, bekerja di bank, perusahaan besar atau menjadi PNS, terima gaji tiap bulan kerja tidak capek, padahal mana ada kerja yang tidak capek, mindset begitu harus dihapus,” tegas Anas.
Ketiga menurutnya, proses panjang menjadi advokat dan biaya cenderung mahal membuat para alumni malas mengikutinya. Keempat, masih ada tingkat pemahaman para orangtua bahwa kesuksesan itu jika anak-anaknya menjadi PNS ataupun karyawan perusaahan swasta yang bonafid, advokat atau pengacara masih terbilang jauh dari mapan.
“Padahal tidak demikian, justru banyak yang kaya raya dari profesi pengacara/advokat, sebut saja bang Hotman Paris, bang Yusril Ihza Mahendra, dulu ada pak Gayus Lumbuun mantan hakim agung, ada bang Hamdan Zoelva mantan ketua MK, bahkan para pengacara banyak menjadi Menteri dan anggota DPR,” paparnya.
Pola pikir keliru tersebut perlu diluruskan oleh para orangtua dan anak-anaknya. Zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dulu, sekarang profesi apapun jika mendatangkan hasil berlimpah harus dijalankan, justru profesi PNS sekarang semakin susah, baik pola rekrutmen ataupun masa depannya.
“Mau masuk PNS susah, begitu masuk dibuat susah harus mengikuti aturan negara yang ketat, terkadang ada yang ditempatkan jauh dari kampung halaman bertahun-tahun, kemudian kenaikan pangkat juga sulit apalagi jabatan fungsional yang menggunakan angka kredit, lanjut dengan gaji yang relatif besar dan kecil, kemudian tunjangan pensiun nanti juga kecil, apa yang diharapkan dari PNS?” tegas mantan hakim Alimuddin kepada www.deal-channel.com.
Ia menjelaskan, alasan tersebut yang akhirnya membuat dirinya resign dari jabatan hakim dan PNS karir. Banyak hal-hal yang dirasakan tidak adil selama menjadi hakim/PNS di lingkungan MA, namun Alim tidak mau memaparkan alasan demi alasan tersebut.
“Salah satunya keuangan, sudah dibatasi negara dan tidak bisa hidup mewah, kalau mau hidup kaya jadilah pengusaha jangan jadi PNS apalagi hakim, itu poinnya,” tegas Alim.
Banyaknya, aparatur pengadilan atau aparat penegak hukum yang terciduk KPK dan ditangkap polisi karena masalah keuangan dirasa kurang. Mereka abdi negara sebagai PNS tapi mau hidup kaya raya, tentu akan menimbulkan kecurigaan di mata pimpinan ataupun masyarakat.
“Masyarakat sekarang sudah cerdas, bahkan sudah banyak mata-mata elektronik yang mengawasi kita, medsos dimana-mana, viral sana sini, jadi tidak bisa main-main apalagi main-main dengan uang,” ungkap dosen hukum di Medan tersebut.
Ia kemudian mengarahkan para alumni hukum dan syariah menjadi advokat saja, baginya profesi advokat adalah profesi mulia dan terhormat.
“Mana ada profesi di Indonesia yang wilayah kerjanya seluruh Indonesia, bahkan bisa ke luar negeri kecuali profesi advokat atau pengacara, apa tidak hebat ini posisi,” terangnya.
Lebih lanjut Alim menegaskan, posisi advokat syariah sudah diatur dalam UU Advokat dan diterima dalam organisasi profesi bernama APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia). Selanjutnya, wadah tersebut akan membimbing dan mengarahkan para alumni menjadi advokat syariah yang bernilai jual dan mahal harganya.
“Dulu, RUU Advokat itu saya dan tim kami yang merumuskan, saya demo sama kawan-kawan mahasiswa agar alumni fakultas syariah bisa menjadi advokat dan diakomodir dalam RUU tersebut, kemudian kita menang, RUU sah menjadi UU tapi sekarang memble, sedikit yang berminat, mereka lebih suka jualan soto, waduh,” kata trainer pelatihan paralegal itu kepada media deal-channel.(ba)