DEAL JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) menguji konstitusionalitas Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan telah memasuki persidangan kelima dalam perkara Nomor 68/PUU-XX/2022, perkara yang diajukan Partai Garuda sebagai Pemohon tersebut, meminta agar Menteri ataupun pejabat negara yang maju sebagai Calon Presiden harus mundur.
Namun, keterangan Pemerintah yang dibacakan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Pembangunan La Ode Ahmad Pidana Bolombo bahwa, jika menteri yang hendak mengajukan diri sebagai calon presiden dan/atau wakil presiden diharuskan sebagaimana dimohonkan oleh Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda), maka hal tersebut akan mengganggu stabilitas pemerintahan, maka tidak perlu mundur.
La Ode menyebut dalam ketentuan Pasal 7 Undang‑Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyatakan kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
“Dengan demikian, jika menteri mengundurkan diri belum berakhir masa jabatannya karena mengikuti kontestasi sebagai calon presiden atau wakil presiden, maka dapat mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan tidak terpenuhinya pelayanan rakyat karena tugas menteri adalah membantu presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk melaksanakan visi dan misi presiden serta mewujudkan tujuan negara, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945,” ujar La Ode di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, lanjut La Ode, pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 122 huruf j Undang‑Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan, “Pejabat negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 121 yaitu, menteri dan jabatan setingkat menteri”. Kedudukan menteri sebagai pembantu presiden yang menjalankan fungsi administratif atau sebagai pejabat administrasi negara dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka menteri juga termasuk sebagai pejabat pemerintahan.
“Dengan demikian, menteri selain sebagai pejabat negara juga sebagai pejabat pemerintahan, ketentuan Pasal 170 ayat (1) beserta penjelasan Undang‑Undang Nomor 7 Tahun 2017 merupakan salah satu pengaturan untuk menjaga netralitas pejabat negara. Namun, menteri selain sebagai pejabat negara, juga sebagai pejabat pemerintahan. Sehingga apabila jabatan menteri sebagai pimpinan tertinggi di kementerian kosong, hal ini dapat menimbulkan terganggunya stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan dalam mewujudkan tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar Tahun 1945,” urai La Ode.
Dalam kesempatan tersebut, La Ode juga menyampaikan bahwa Pemerintah menghargai usaha‑usaha yang dilakukan oleh masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Ia menyampaikan pemikiran‑pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi pemerintah pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
“Atas dasar pemikiran tersebut, Pemerintah berharap agar Pemohon nantinya dapat ikut serta memberikan masukan dan tanggapan terhadap penyempurnaan undang-undang a quo di masa mendatang dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” tandas La Ode.
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh Anggota Komisi III Habiburokhman menjelaskan bahwa jabatan menteri masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang merupakan bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh presiden dan wakil presiden. “Jadi aneh apabila presiden dan wakil presiden tidak diwajibkan mengundurkan diri, tetapi menteri diwajibkan mengundurkan diri,” ujarnya.
Habiburokhman menyebut Pemohon merujuk pada Putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010, Nomor 12/PUU-XI/2013, Nomor 57/PUU-XI/2013, Nomor 41/PUU-XII/2014, dan Nomor 33/PUU-XIII/2015. Dalam permohonan tersebut, terkait pengunduran pejabat negara in casu Menteri, sebab dasar pertimbangan pengunduran diri PNS, TNI, Polri, BUMN, atau BUMD, sebagaimana tersebut di atas didasarkan pada beberapa pertimbangan justifikasi yang dapat dilibatkan perdebatan dan perbedaan pendapat, yaitu pertimbangan masa jabatan, tipe pekerjaan, dan cara memperoleh jabatan hasil pemilihan umum atau jabatan profesi yang merupakan pilihan karier.
“Artinya, pilihan tersebut tidak dapat serta-merta diberlakukan seutuhnya menjadi dasar atau pertimbangan dalam mengurus permohonan a quo terkait pengunduran diri pejabat negara, in casu menteri,” jelas Habiburokhman.
Untuk diketahui, Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika menguji Pasal 170 ayat (1) frasa “pejabat negara” UU Pemilu. Pemohon mendalilkan bahwa menteri adalah pejabat negara yang tidak dikecualikan untuk mengundurkan diri dalam jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden oleh Pemohon atau gabungan partai politik.
Menteri yang saat ini tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju, juga Pemohon yang mengusung menteri untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden, potensial mengalami kerugian konstitusional menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Berbeda halnya dengan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota, apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden hanya memerlukan izin kepada Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU Pemilu.
Perlakuan berbeda antara menteri dengan dengan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota apabila dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden oleh Pemohon, juga telah mencederai dan menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon, sebagaimana yang dijamin dan dilindungi berdasarkan ketentuan Pasal 22E Undang Undang Dasar Tahun 1945. Untuk itu, frasa “pejabat negara” dalam Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Menteri dan pejabat setingkat menteri, dan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota. (ath)