Perempuan dan Hak Asasinya Pasca Cerai

Perempuan dan Hak Asasinya Pasca Cerai

Alimuddin

Read More

Pemimpin Redaksi Deal Channel

 

Perempuan, sinonim dari wanita. Manusia hebat yang hidup pada zaman dulu hingga kini, sosok pujaan dan panutan yang mampu menghadapi ujian dan rintangan hidup. Perempuan Indonesia sebut saja demikian, terus menerus memperjuangkan dirinya untuk setara dengan laki-laki, sejak dulu hingga kini, baik di bidang domestik (urusan rumah tangga) maupun di bidang global (hukum, politik, bisnis, sosial dan agama).

Kartini boleh tersenyum, perjuangan yang telah dilakukannya dulu, kini berhasil. Agus Salim menuturkan, salah satu kecenderungan umat Islam adalah memisahkan perempuan dalam rapat-rapat, para perempuan ditempatkan di pojok-pojok dengan ditutup kain putih yang meniru bangsa Arab. Tindakan tersebut menurut Agus Salim, bukanlah ajaran Islam melainkan tradisi Arab yang sebelumnya dipraktikkan juga oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. Tindakan Agus Salim tersebut, sebagai sebuah pemikiran dalam peta pembaruan Islam di Indonesia telah muncul seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional.

Pemikiran progresif yang pertama kali muncul dilontarkan oleh sebuah organisasi kecil perempuan yang bernama Natdatoel Fataat, sebuah organisasi yang dilahirkan di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri. Dalam kongres perempuan tahun 1928, organisasi Walfadjri melontarkan pemikiran yang sangat maju pada masanya, yakni tentang perlunya pembaruan hukum perkawinan dalam Islam, misalnya tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga dan sebagainya.

Sejalan dengan hal itu, dunia merespon gerakan perempuan mencari keadilan dengan mengadakan konvensi perempuan atau CEDAW dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi tehadap Wanita. Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan membentuk lokakarya “Peran Hakim Menegakkan Hukum Berkeadilan Gender: Masalah-masalah yang dihadapi” pada tanggal 19-20 Desember 2005 di Jakarta. Hasil dari lokakarya yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerjasama dengan Mahkamah Agung tersebut, mencetuskan pemikiran untuk menyusun buku bahan ajar tentang hak perempuan dalam UU Nomor 7 Tahun 1984.

Sejak berlakunya konvensi CEDAW, Indonesia gemar menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak perempuan dan anak. Kedua sosok itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ada perempuan dan pasti ada sosok anak, begitu pula sebaliknya. Dalam merumuskan peraturan perundang-undangan, pemerintah sangat paham bahwa antara perempuan dan anak harus dibahas dalam satu kajian yang sama.

Salah satu isu yang banyak dibahas dalam konvensi CEDAW adalah isu hak-hak perempuan dan anak dalam perkawinan dan pasca perkawinan (baca; perceraian). Hal itu menjadi krusial karena sampai sekarang diskusi dan perdebatan tentang hak perempuan dan anak pasca perceraian menjadi semakin tarik menarik dan belum ada titik temu, meskipun turunan peraturan yang membahas hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian semakin bertambah.

Dalam suatu perkawinan diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut. Perkawinan yang dibangun dengan cinta yang semu (tidak lahir batin), maka perkawinan yang demikian biasanya tidak berumur lama dan berakhir dengan suatu perceraian. Bilamana terjadi perceraian, khususnya bagi pasangan yang telah memiliki anak, timbul permasalahan mengenai siapakah diantara kedua orang tuanya yang lebih berhak terhadap anak, yang selanjutnya melakukan tugas hadhanah (pengasuhan anak).

Hak asuh anak sering menjadi permasalahan sebelum ataupun sesudah perceraian, bahkan tidak jarang bila antara mantan suami dan mantan istri saling berebut untuk mendapatkan hak asuh anak mereka, bahkan yang paling ekstrem perebutan anak dilakukan dengan kekerasan, sampai para pihak menggunakan jasa preman yang tentunya dapat melahirkan permasalahan baru. Jika tindakannya dilakukan di luar ketentuan hukum tak jarang pula bila ada pihak yang sudah mengantongi putusan pengadilan untuk mengasuh anak tetapi tidak dipatuhi dan tidak dijalankan, sehingga ada istilah kurang afdol jika bercerai tanpa mempermasalahkan anak.

Peradilan agama merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun non-material yang berkeadilan gender. Pada ranah inilah diskusi terhadap sistem hukum dan keadilan gender menjadi penting untuk melihat bagaimana hakim sebagai penentu keputusan berempati terhadap perempuan yang haknya sering terabaikan, terutama dalam kasus perceraian.

Diskusi ini mengkaji efektifitas penerapan peraturan perundang-undangan yang tersebar di Indonesia tentang hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian melalui pendekatan sistem hukum dan keadilan gender, kesimpulan saya antara lain; Pertama, faktor penyebab masih banyaknya perempuan dan anak yang tidak memperoleh hak-haknya pasca perceraian dikarenakan struktur hukum yang masih lemah dalam penerapannya, budaya hukum dari masyarakat pencari keadilan yang masih lemah untuk memperjuangkannya dan proses eksekusi yang belum sederhana, cepat dan biaya ringan.

Kesimpulan kedua, peran pimpinan harus melakukan sosialisasi PERMA dan SEMA serta turunannya secara sungguh-sungguh dan peran hakim Peradilan Agama dapat mempedomani ketentuan Pasal 41 huruf c UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan beberapa peraturan lainnya tentang hak perempuan dan anak dalam dimensi hukum keluarga di setiap pertimbangan putusan.

Diskusi dalam tulisan ini, bukan sebagai tandingan namun sebatas perbandingan untuk mengkaji proses perjalanan sistem hukum dalam mengadopsi persoalan hak perempuan dan anak pasca cerai sebagaimana yang dimaksudkan oleh para pemikir hukum lainnya. Selanjutnya, sebuah kelaziman jika membahas hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian harus dibahas secara bersama-sama tentang keadilan dari perspektif gender karena membahas hak-hak perempuan dan anak pasca cerai tanpa ada pembahasan tentang teori keadilan gender, ibarat membelah durian tanpa terlebih dahulu menciumnya. Semoga tulisan ini bermanfaat!

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *