DEAL OLAHRAGA | Sebuah laga persahabatan antara tim nasional Indonesia dan Afganistan baru-baru ini menarik perhatian bukan hanya karena skor akhir di papan, tetapi karena makna yang lebih dalam: bahwa sepakbola bisa menjadi bahasa universal, menjembatani dua negara yang memiliki sejarah dan dinamika berbeda, namun disatukan oleh semangat kemanusiaan, solidaritas, dan perdamaian.
Contents
Lapangan Hijau, Ruang Diplomasi Baru
Pertandingan yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno itu bukan hanya soal strategi, umpan silang, atau gol spektakuler. Di balik peluit wasit, ada simbol kuat tentang bagaimana olahraga, khususnya sepakbola, menjadi jembatan diplomasi antarbangsa.
Indonesia dan Afganistan memang terpaut ribuan kilometer, namun keduanya sama-sama negara berpenduduk mayoritas Muslim dengan sejarah perjuangan panjang. Pertandingan ini menjadi ajang untuk menunjukkan bahwa solidaritas antarbangsa tak harus selalu terjadi di meja diplomasi, tapi bisa juga dibangun di atas lapangan hijau.
Afganistan: Sepakbola sebagai Harapan di Tengah Ketidakpastian
Bagi masyarakat Afganistan, sepakbola lebih dari sekadar olahraga. Dalam situasi politik yang masih fluktuatif dan realitas sosial yang penuh tantangan, sepakbola menjadi sumber harapan. Tim nasional Afganistan sering disebut sebagai simbol ketahanan dan semangat rakyat—mereka bermain bukan hanya untuk menang, tetapi untuk menunjukkan bahwa bangsa mereka tetap berdiri, meski diterpa badai.
Pelatih Afganistan, Ahmad Nazari, dalam konferensi pers menyebut pertandingan ini sebagai “momen persahabatan dan rasa hormat terhadap bangsa yang selalu membuka tangan bagi kami.”
Indonesia: Tuan Rumah yang Ramah dan Solid
Indonesia sendiri menunjukkan kelasnya sebagai tuan rumah. Dukungan suporter yang bersahabat, upacara penyambutan yang hangat, dan tribune yang dihiasi bendera kedua negara menunjukkan bagaimana rakyat Indonesia merespons tamunya bukan sebagai lawan, melainkan sebagai saudara.
Federasi Sepakbola Indonesia (PSSI) menyatakan bahwa laga ini bukan sekadar uji coba, tapi juga bagian dari “diplomasi olahraga” yang kini semakin diperluas oleh pemerintah sebagai bagian dari soft power Indonesia di dunia internasional.
Pertemuan Budaya di Luar Stadion
Tak hanya pertandingan, kehadiran tim Afganistan juga diisi dengan kunjungan budaya, pertemuan antar pelajar, dan diskusi dengan komunitas sepakbola akar rumput di Jakarta. Para pemain sempat mengunjungi Museum Nasional dan berdialog dengan pelajar di Pesantren Tebuireng yang memiliki program pertukaran budaya.
“Sepakbola mengajarkan kami cara memahami dunia. Dari sini kami tahu bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang penuh toleransi,” ujar kapten tim Afganistan, Zabiullah Karim, dengan mata berkaca-kaca.
Lebih dari Bola, Ini tentang Harapan
Pertandingan itu berakhir imbang 0-2. Namun semua tahu, yang sesungguhnya menang adalah persahabatan. Sorak-sorai penonton, saling peluk antar pemain, dan kibaran bendera dua negara menjadi bukti nyata: bahwa sepakbola mampu menyatukan, melampaui batas geografis dan politik.
Sejarawan olahraga dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Roni Putra, menilai laga ini sebagai bagian dari rekonstruksi narasi global bahwa negara-negara berkembang dapat menjadi pusat solidaritas dan sportivitas baru. “Kita melihat bagaimana sepakbola menjadi instrumen diplomasi rakyat—menguatkan simpul antarnegara dengan cara yang menyenangkan dan membumi,” ujarnya.
Sepakbola Indonesia dan Afganistan mungkin belum menjadi kekuatan utama di kancah dunia. Tapi di tengah situasi dunia yang penuh polarisasi, justru dari negara-negara inilah muncul harapan akan wajah baru dunia yang lebih hangat, setara, dan manusiawi.
Karena sepakbola, seperti hidup, bukan hanya soal siapa yang menang, tapi siapa yang mampu berjalan bersama, bahkan setelah peluit panjang berbunyi. (ath)