DEAL FOKUS | Momentum isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad saw bagi umat Islam sangat bermakna dalam kehidupan mereka, di dalamnya bukan hanya menceritakan perjalanan Rasulullah menjumpai Sang Pencipta alam semesta, namun mengajarkan transformasi dari buruk menjadi baik, hal itu sering disebut hijrah.
Isra’ dan mi’raj mempunyai arti dalam bagi setiap umat Islam, perintah shalat lima waktu sehari dan semalam dibahas dalam pertemuan Rasulullah saw dan Allah swt. Namun, dari aspek filosofis duniawi, transformasi kehidupan yang buruk menjadi baik adalah sebuah keharusan pasca mi’raj Nabi Muhammad saw.
Transformasi kehidupan tersebut salah satunya memahami globalisasi berbasis teknologi informasi atau sering disebut hijrah digital. Perjalanan Nabi Muhammad menuju sidratul muntaha tak kalah menarik dikisahkan dan ditafsirkan dari perspektif teknologi, kendaraan buraq pada saat itu adalah kendaraan digital berbasis teknologi modern masa kini. Namun umat masa itu belum memahami digitalisasi, maka saat umat masa sekarang mendengarkan kisah isra’ dan mi’raj, maka pemahaman kita adalah digitalisasi berbasis TI.
Generasi milenial yang lahir pada tahun 2000an yang pada akhirnya disebut generasi Z (umat akhir zaman), mereka sangat akrab dengan transformasi digital tersebut, namun terkadang mereka salah memahami makna hijrah, isra’ dan mi’raj yang sesungguhnya.
Hal itu pernah disinggung ustadz Adi Hidayat dalam beberapa ceramahnya, transformasi digital saat ini seringkali membuat umat lupa bahwa ada Tuhan mereka selain TI.
“Tetapi mereka kadang menjadi hamba TI, hamba digital, itu salah,” jelas ustadz Adi Hidayat.
Menurut ustadz kondang dari Lampung KH. Ahmad Yani Aslan, transformasi digital zaman sekarang yang banyak menyasar kaum milenial harus dihadapi dengan sangat bijaksana, jika tidak mereka akan tergilas dengan zaman mereka sendiri.
“Ya, zaman mereka adalah digital, mereka terkadang tidak paham sejarah, apalagi sejarah isra’ dan mi’raj, ini keliru,” tegasnya.(hg/red)