DEAL JAKARTA | Upaya Komisi Yudisial (KY) menduduki posisi strategis di Republik ini sepertinya kandas dan tenggelam sampai ke dasar laut, hal itu disebabkan sejumlah pasal dalam UU Komisi Yudisial direnggut habis oleh Mahkamah Konstitusi (MK), terakhir pasal yang mengatur pengawasan hakim agung dan hakim konstitusi.
Secara teori, UUD 1945 membentuk KY dan memberikan amanat mengawal yudikatif. Dari konsep itu lalu diturunkan oleh DPR menjadi UU KY. Salah satunya berhak mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Namun apa daya, MK membatalkan sejumlah kewenangan KY itu.
Pemohon adalah hakim yang meminta kekuasaan KY dikerdilkan, yaitu 34 hakim agung. Antara lain; Paulus Effendi Lotulung, Andi Syamsu Alam, Akhmad Kamil, Abdul Kadir Mappong, Iskandar Kamil, Harifin Tumpa, Muchsin, Valerine JLK, Dirwoto, Abdurrahman, Mansur Kertayasa, Rehngena Purba, Hakim Nyak Pha, Hamdan, Imron Anwari, M Taufiq, Imam Harijadi, Abbas Said, Djoko Sarwoko, Atja Sondjaja, Imam Soebchi, dan Marina Sidabutar. Ternyata, MK mengabulkan dan memutuskan KY tidak berwenang mengawasi hakim konstitusi.
“Dalam perkembangannya, terdapat beberapa Putusan MK yang turut mempersempit kewenangan KY. Misalnya, Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang menganulir kewenangan KY dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi,” kata jubir KY Miko Ginting kepada wartawan, minggu lalu.
Padahal, KY diberikan amanat oleh UUD 1945 secara langsung untuk mengawasi lembaga peradilan.
Dari waktu ke waktu, tidak bisa dielakkan bahwa peran KY semakin sempit. Jika mengacu pada risalah pembentukan KY melalui amandemen ketiga UUD 1945, jelas sekali terlihat bahwa KY diproyeksikan untuk mengemban peran yang sangat luas dan substansial untuk mengusulkan pengangkatan hakim maupun menjaga kemandirian hakim, terutama melalui peran pengawasan.
DPR tidak diam. Pada 2011, DPR kembali menguatkan peran KY dengan membolehkan ikut menyeleksi hakim tingkat pertama. Baik calon hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Harapannya, bila calon hakim baik dan berkualitas, maka akan menghasilkan output hakim yang berintegritas dan pengadilan menjadi bersih. Tapi fungsi KY yang strategis itu kembali dilumpuhkan oleh MK pada 2015.
Putusan MK No. 43/PUU-XIII/2015 yang menihilkan peran KY dalam seleksi hakim di tingkat pertama. Menghadapi berbagai putusan MK itu, parlemen terus memutar otak mencari jalan agar KY kuat sehingga bisa mengawasi yudikatif. Salah satunya dengan memasukkan anggota KY dalam mengawasi hakim MK. Seperti dalam Perppu Penyelamatan MK dan UU MK tahun 2020. Dalam UU MK terbaru itu, satu perwakilan KY duduk sebagai anggota Majelis Kehormatan MK.
Tapi lagi-lagi, peran KY kembali diberangus MK lewat putusannya. Perppu Penyelamatan MK dibatalkan seluruhnya dan kewenangan KY mengawasi di UU MK juga dibatalkan.
Terkini, Putusan No. 56/PUU-XX/2022 yang melepaskan keikutsertaan KY dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Dari berbagai putusan itu, KY mengaku kecewa dengan sikap MK tersebut. MK sebagai penjaga konstitusi, harusnya ikut memperkuat sistem peradilan dan bukan melemahkannya.
Dampak beberapa putusan MK tersebut jelas terkait langsung dengan peran KY dalam menjaga kemandirian hakim dan peradilan. Namun, yang paling terasa adalah dampaknya pada mental personil KY, terlebih khusus pada profesi yang diemban. Begitu juga pada persepsi publik yang semakin hari semakin mempertanyakan relevansi KY, padahal ada persoalan kewenangan yang memang tidak sebesar dan seluas yang diekspektasikan publik.
Pendapat lain, disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum ini lebih sepakat jika KY dibubarkan saja karena tidak sejalan dengan sistem hukum yang ada. Kemudian, relevansi anggaran negara terhadap peran dan fungsi KY di republik ini merisaukan. Menurutnya, KY dapat digantikan panitia seleksi jika hanya merekrut hakim agung.
Hal serupa disampaikan Akbar Faizal, mantan anggota Komisi III DPR RI yang pernah menggodok UU KY dan menyeleksi komisioner KY. Menurut Akbar, KY hanya membuang-buang anggaran negara saja dan fungsinya tidak jelas di negara ini, sudah sepantasnya jika dibubarkan.
Secara tegas, pembubaran KY disampaikan oleh mantan hakim Alimuddin. Menurutnya, KY bukan hanya dibubarkan tetapi dihilangkan nyawanya dari republik ini karena fungsi pengawasan terhadap manusia-manusia di dalamnya tidak jelas.
“Mereka mengawasi hakim, Hasrat mereka juga mau mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi, tapi saat mereka ada masalah etik atau masalah hukum, siapa yang mengawasinya? Mereka memeriksa hakim diperlakukan bukan seperti manusia, hakim yang diduga bersalah disudutkan, seolah-olah macam tersangka, padahal kalau mau dibuka, mereka juga banyak kesalahan etik, bahkan dosa besar yang dilakukan, lalu siapa yang periksa mereka? Tuhan atau Malaikat maut?” tegas Alim, sekarang menjadi paralegal dan pengusaha kuliner serta dosen hukum di beberapa kampus luar dan dalam negeri.
Alim juga berjanji dan bersumpah akan memperjuangkan agar KY dibubarkan dari republik ini, dia akan menghadapi orang-orang yang berani membela KY.(am/jm/ba)