DEAL INDONESIA | Rakyat Indonesia meminta Pemerintah Republik Indonesia agar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berada di bawah Kementerian Dalam Negeri saja, menyusul banyaknya kasus yang terjadi di negeri ini melibatkan jaringan polisi, seperti kasus narkoba, kasus perjudian online dan terakhir tercatat kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat.
Selain itu, banyak kasus lainnya seperti penyelundupan senjata api, kepemilikan senjata tajam dan senjata api, perselingkuhan, rumah border, dan kasus-kasus pemalakan sopir truk di jalan-jalan sepi melibatkan polisi.
Keinginan rakyat itu berdasarkan pada hasil jajak pendapat online yang tersebar di grup-grup Whatsapp dan media sosial dua pekan terakhir di bulan Agustus sejak kasus pembunuhan Brigadir Jhosua terungkap, kemudian terungkap kasus penembakan laskar FPI di KM 50 yang masih melibatkan pihak kepolisian.
Menurut anggota komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburrokhman, perlu dilakukan reformasi struktural dan kultural di tubuh Polri. Maksudnya, dimaksimalkan saja staf khusus Polri sehingga tidak diperlukan penasihat ahli dari eksternal. “Komisi III menelpon Kapolri saja tidak mau angkat, sedangkan penasihat ahli sepertinya takut kalau tidak angkat telpon, sebetulnya ini perlu diubah secara struktur,” tegasnya.
Meskipun trend kepercayaan masyarakat terhadap Polri masih tinggi, namun hal itu disinyalir karena mereka hanya mengetahui permukaan saja, belum tahu secara mendalam apa yang telah terjadi di tubuh Polri. Dengan demikian, memang diperlukan reformasi Polri secara menyeluruh, baik secara struktur maupun kultur.
Albertus Wahyurudhanto dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menanggapinya, trend kepercayaan masyarakat terhadap Polri sekarang turun ke dasar yang paling rendah akibat kasus Ferdy Sambo membunuh Brigadir Jhosua. Momentum ini harus digunakan Polri untuk melakukan reformasi. Sebenarnya Polri sudah ada program reformasi, yaitu aspek instrumental, aspek struktural, dan aspek kultural. Paling susah mereformasi kultural, karena saat mereka masuk ke lingkungan kepolisian yang di dalamnya terdapat geng-geng, kelompok kelompok, status dan sebagainya, termasuk jika dikaitkan dengan perintah atasan, maka mulai rusak idealisme mereka.
Menurut Albertus, sudah banyak penyakit di tubuh Polri sehingga penyakit itu menjadi benalu dan harus diamputasi. Jika tidak, maka reformasi tidak berjalan. Sebagai contoh, posisi Propam di Polri sangat super body, ditakuti semua pihak, namun saat bosnya menjadi tersangka kasus pembunuhan, maka posisi Propam menjadi terganggu.
Contoh lainnya adalah Satgasus yang Ferdy Sambo juga menjadi bosnya, hal itu menurut Kompolnas tidak efektif dalam melakukan program kerja Polri. Apalagi dengan adanya kasus yang terungkap sekarang, posisi Satgasus menjadi kecemburuan dan merusak kinerja Polri dan harus dibubarkan.
Kelompok-kelompok dan geng-geng masih ada di tubuh Polri sehingga proses promosi tidak berjalan baik. Menurut pakar pertahanan dan keamanan Connie Rahakundini Bakrie, ide mereformasi sudah ada sejak dulu sekitar tahun 1999 sudah ada masalah strategi, pertama spent of control terlalu luas. Kedua, Polri posisi tertinggi di dunia karena langsung di bawah Presiden. Ketiga, kemampuan keuangan yang besar tetapi dia mampu mengontrol rekannya TNI. Ketika ini tidak bisa dihentikan, maka Sambo-sambo baru akan lahir. Solusinya, ubah sistemnya dan ubah rangkaian di dalamnya.
Sekarang, polisi kita menjadi militer. Seharusnya di bawah Kemendagri sebagai pejabat struktural seperti model USA dan Eropa. Polri tidak tunduk kepada hukum tetapi tunduk kepada komando karena sistemnya sudah seperti militer, dari aspek kepangkatan yang mirip militer dari bawah sampai jenderal.
Polisi sebagai kaidah sipil dimungkinkan mengadopsi budaya lokal karena polisi itu adalah sipil bukan militer. Reformasi kultural itu adalah mengadopsi kearifan lokal yang masuk ke dalam tubuh Polri, bukan sistem militer yang terus menerus masuk ke dalam tubuh Polri hingga polisi sendiri bergaya kemiliter-militeran.
Menanggapi reformasi Polri di bawah Kemendagri, Habiburokhman minta diperlukan waktu lagi, termasuk Presiden dan Kapolri minta agar reformasi ini ojo kesusu, tapi perlu direformasi. Connie Bakrie juga mengingatkan jika solusi ini tidak dijalankan maka posisi Polri sebagai super body di Republik Indonesia masih tidak akan berjalan selesai. “Tidak bisa remedial karena mengubah sistem, tapi kalau sistem itu tidak diubah, maka Sambo Sambo lain akan lahir,” tegasnya.
Upaya mereformasi Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri terus dilakukan sejalan dengan banyaknya kasus di negeri ini melibatkan pihak Polri, dari lapisan bawah sampai atas secara struktur dan kultur. (ath)