Kota Chongqing: Menelusuri Jalan ke Stasiun Kereta Cepat Bawah Tanah

DEAL OLAHRAGA | Ketika Perjalanan ke Stasiun Menjadi Potret Kota. Di Kota Chongqing, Tiongkok, berjalan kaki bukan sekadar aktivitas fisik, tapi sebuah pengalaman multisensorial yang menggambarkan kompleksitas urban, keberanian arsitektural, dan dinamika sosial masyarakatnya. Terutama saat seseorang mencoba menembus lorong-lorong kota menuju stasiun bawah tanah kereta cepat—di sinilah ritme langkah menyatu dengan denyut jantung kota metropolitan tiga dimensi ini.

Chongqing: Kota yang Bertumpuk Secara Vertikal

Berbeda dengan kebanyakan kota di dunia, Chongqing tumbuh secara vertikal dan berlapis, bukan melebar. Topografi berbukit curam, lembah dalam, serta posisi kota di antara Sungai Yangtze dan Jialing menciptakan tantangan unik dalam mobilitas warganya.

Read More

Menuju stasiun kereta cepat seperti Chongqing West Railway Station atau Shapingba Station bukan hal yang bisa diselesaikan dalam hitungan menit. Terkadang dibutuhkan lebih dari 15 menit berjalan kaki melewati terowongan panjang, eskalator menurun berlapis, hingga belasan anak tangga bawah tanah hanya untuk mencapai peron.

Namun, di balik perjalanan kaki yang melelahkan itu, tersembunyi potret kehidupan modern yang jarang terlihat dari permukaan.

Lorong Bawah Tanah: Dunia Lain di Bawah Kota

Saat kaki melangkah ke dalam kompleks stasiun, pemandangan langsung berubah: dari keramaian jalan raya dan gedung pencakar langit, menuju dunia bawah tanah yang sibuk tapi terorganisir. Jalur konveyor otomatis, kios modern, seni mural urban, serta pencahayaan futuristik menyambut setiap penumpang. Beberapa stasiun bahkan dihiasi tema budaya lokal Chongqing, menghadirkan suasana etnik di tengah modernitas.

Namun, jalur ke peron bisa sangat panjang. Ada yang harus menempuh 1 hingga 1,5 kilometer berjalan kaki di bawah tanah karena konfigurasi kota dan struktur pegunungan yang membuat stasiun tidak bisa dibangun secara konvensional.

Infrastruktur Raksasa yang Mengutamakan Konektivitas

Pemerintah Chongqing tidak membangun stasiun kereta cepat secara sembarangan. Dengan konsep transit-oriented development (TOD), banyak stasiun terintegrasi dengan pusat perbelanjaan, terminal bus, dan apartemen tinggi. Inilah yang membuat akses menuju peron bisa memakan waktu, namun sekaligus menciptakan efisiensi ruang dalam kota yang padat.

Konektivitas menjadi prioritas. Meski berjalan jauh, penumpang tak merasa kehilangan arah. Sistem petunjuk digital, lift, eskalator panjang, hingga layanan bantuan tersedia. Bahkan, sebagian besar warga menganggap ini sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup di Chongqing.

Sisi Lain: Ketangguhan dan Budaya Jalan Kaki di Tiongkok

Pengalaman ini menunjukkan bagaimana masyarakat Chongqing telah terbiasa dengan budaya jalan kaki yang kuat. Berjalan jauh dianggap sebagai bagian dari hidup sehat, efisien, dan praktis. Tak jarang, lansia, pekerja kantoran, hingga mahasiswa terlihat berjalan cepat menuju stasiun, menyatu dengan ritme kota.

Meski begitu, beberapa kritik muncul tentang aksesibilitas bagi lansia dan penyandang disabilitas. Pemerintah pun mulai merespons dengan penambahan lift otomatis dan jalur ramah kursi roda di stasiun-stasiun baru.

Pelajaran dari Bawah Tanah Chongqing

Berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah di Chongqing bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan melintasi lapisan kota, waktu, dan budaya. Di sanalah terlihat bagaimana arsitektur bertemu kebutuhan publik, bagaimana teknologi berpadu dengan keterbatasan geografis, dan bagaimana manusia menjadi bagian dari mesin kota yang bergerak tanpa henti.

Chongqing mengajarkan bahwa kota yang maju bukan hanya tentang kecepatan kereta, tetapi juga tentang kemampuan warga berjalan bersama kota—bahkan ke dalam perutnya yang terdalam. (ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *