Tolak Revisi UU MK, 26 Akademisi Kirim Surat Terbuka ke Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani

Sidang MK (Foto: Anisa Indraini/detikcom), Deal Channel

DEAL NASIONAL |Sebanyak 26 akademisi menolak revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dengan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR Puan Maharani. Surat tersebut, yang tertanggal 17 Mei 2024, dikirimkan oleh kelompok akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).

Herdiansyah Hamzah, seorang pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, adalah salah satu akademisi yang menandatangani surat tersebut. Ia menyatakan bahwa tujuan dari surat terbuka ini adalah untuk melawan upaya DPR dan Pemerintah yang dianggap ingin mengendalikan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, surat ini juga menyerukan agar MK dikembalikan ke peran aslinya.

Read More

“Para akademisi tidak boleh diam terhadap kejahatan, termasuk kejahatan yang coba dilegalkan melalui undang-undang,” ujar Herdiansyah saat dikonfirmasi pada Jumat, 17 Mei 2024.

Herdiansyah juga menambahkan bahwa upaya kontrol terhadap MK melalui revisi undang-undang ini terjadi menjelang peringatan 26 tahun reformasi pada 21 Mei mendatang, yang menambah kekhawatiran akan niat di balik perubahan ini.

Dalam salinan surat yang diterima oleh Tempo, CALS menyatakan bahwa tidak seharusnya DPR dan Presiden melakukan pembahasan dan mengesahkan revisi undang-undang yang krusial bagi kekuasaan kehakiman di masa lame duck, atau mendekati transisi pemerintahan ke periode selanjutnya.

 

Persoalan Prosedural dalam Revisi UU MK

CALS mengemukakan beberapa masalah prosedural terkait revisi UU MK. Pertama, perubahan terhadap undang-undang sering kali bersifat reaksioner dan tidak direncanakan dengan matang. Revisi keempat UU MK tidak terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 maupun Prolegnas Prioritas 2024.

“Kedua, pembahasan pada tahap pertama dilakukan secara tertutup, tergesa-gesa, dan tidak melibatkan semua fraksi, termasuk PDIP dan beberapa anggota Komisi III DPR,” kata CALS.

Ketiga, CALS menyoroti kurangnya partisipasi publik dalam proses revisi ini. DPR dan Presiden dianggap mengabaikan prinsip partisipasi yang bermakna dengan menutup akses publik terhadap dokumen rancangan undang-undang dan naskah akademik. Keempat, pembahasan ini dilakukan selama masa lame duck, yaitu masa transisi menuju pemerintahan periode baru.

Kelima, pembahasan dilaksanakan pada masa reses, bukan pada masa sidang yang seharusnya digunakan DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat. Rapat pembahasan tingkat pertama telah dilakukan oleh Komisi III DPR dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Kementerian Hukum dan HAM pada Senin, 13 Mei 2024, sehari sebelum pembukaan masa sidang DPR.

 

Masalah Materiil dalam Revisi UU MK

CALS juga mengungkapkan beberapa masalah materiil dalam revisi UU MK. Mereka menilai bahwa perubahan ini tidak berorientasi pada penguatan MK, melainkan untuk mengurangi independensi MK dan Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Pertama, dalam satu dekade terakhir, revisi UU MK lebih banyak berfokus pada masa jabatan hakim konstitusi daripada penguatan kelembagaan MK. Kedua, ada indikasi upaya mengatur ulang komposisi hakim konstitusi agar sesuai dengan keinginan DPR dan Presiden.

Pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) dalam revisi UU MK memungkinkan recall (penarikan kembali) hakim konstitusi melalui evaluasi setiap 5 tahun oleh lembaga pengusul. Ini berpotensi mengancam independensi hakim konstitusi karena mereka akan bergantung pada lembaga pengusul.

Ketiga, ada upaya intervensi terhadap MK tidak hanya dalam hal masa jabatan dan kewenangan, tetapi juga pada lembaga penegak etiknya. Pasal 27A revisi UU MK menambahkan tiga personel MKMK yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul, yang bisa mempersempit ruang independensi MKMK.

Keempat, Pasal 87 revisi UU MK mengindikasikan upaya menyaring hakim konstitusi petahana dengan mengatur persetujuan lembaga pengusul bagi hakim yang telah menjabat lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun untuk melanjutkan masa jabatan, serta hakim yang telah menjabat lebih dari 10 tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 tahun. (wam)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *