DEAL PARALEGAL | Banyak pengacara tidak terbiasa dengan nuansa teknologi komputer dan keamanan data yang penting untuk mematuhi aturan etika abad ke-21 di dunia digital kita. Ada banyak bahaya tersembunyi dalam alat dan platform yang sering digunakan, termasuk email, media sosial, dan “Cloud”.
Bahaya etis dan ladang ranjau diperparah dan diperparah dengan meningkatnya penggunaan perangkat digital dan koneksi internet dalam praktik hukum, termasuk penggunaan Zoom dan platform pertemuan digital lainnya, bekerja dari rumah melalui internet, dan menggunakan Alexa serta perangkat digital lainnya. .
Karena pengacara dan firma hukum adalah target utama peretas, semua pengacara harus waspada terhadap data klien dan sumber daya teknologi firma/departemen. Informasi ini sangat penting bagi pengacara dan paralegal untuk menjadi lebih canggih dalam manajemen risiko dalam berbagai konteks teknologi. Belum lagi, diharuskan berdasarkan aturan etika untuk memastikan Anda kompeten dalam teknologi dan keamanan data.
Presentasi webinar ini akan membantu pengacara, paralegal, dan departemen hukum firma hukum untuk mengidentifikasi masalah etika dan menghindari atau meminimalkan risiko di dunia digital kita yang semakin meningkat, banyak di antaranya mungkin tidak mereka sadari. Presentasi ini juga akan memberikan solusi yang disarankan dan praktik terbaik.
Walaupun jasa hukum saat ini tampaknya luput dari dampak teknologi dibanding jasa bidang lain, lambat laun akan terusik kemajuan teknologi, karena teknologi mengubah sifat pekerjaannya. Inilah yang disebut teknologi gangguan (disruptive) yang membuat hukum lebih mudah diakses dengan biaya relatif terjangkau. Tekonologi informasi penting dalam bidang hukum dalam tulisan ini adalah teknologi penelusuran informasi, Artificial Inteligence (kecerdasan buatan) dan legal marketing, dimana ketiganya bisa saling melengkapi dalam memberikan pelayanan hukum yang prima.
Terkait dengan penelusuran informasi, terdapat aplikasi teknologi Intelligent Legal Search yang ketepatan dan kemampuan mengingat temuan mampu mengungguli paralegal dan pengacara junior, ketika mereka mengulas dan mengkategorikan batang tubuh dokumen. Hal ini tidak hanya mengganggu untuk firma hukum yang mempekerjakan manusia, tapi untuk proses agen outsourcing hukum yang menawarkan pelayanan serupa.
Saat ini, dunia penelitian hukum berbasis data masih dikuasai oleh LexisNexis dan Westlaw. Dua vendor raksasa ini mengelola database yang memuat segunung rincian kasus dan sering menjadi titik awal penelitian hukum. Mereka berfungsi sebagai mesin pencari dan menawarkan sarana analisis canggih. Salah satu bidang yang menarik dari praktek dan riset Internet adalah Big Data.
Big Data dianggap sebagai teknologi dan arsitektur generasi baru, dirancang agar organisasi dapat mensarikan nilai dari volume berbagai data yang sangat besar dengan capture, penemuan, dan/atau analisis dengan kecepatan tinggi. Memang belum banyak pekerjaan hukum yang mengunakan Big Data. Susskind, penulis buku Tommorow’s Lawyers: And intruduction to Your Future memperkirakan bahwa pada suatu saat akan terbukti bahwa Big Data punya makna mendalam. Misalnya dengan menggabungkan hasil penelusuran data, kita akan menemukan masalah hukum dan kekhawatiran yang mengganggu masyarakat tertentu; dengan menganalisis database keputusan hakim dan regulator, mungkin kita dapat memprediksi hasil dengan cara yang benar-benar baru; dan dengan mengumpulkan kontrak komersial perusahaan besar dan pertukaran email, kita mungkin mendapatkan wawasan resiko hukum terbesar yang dihadapi sektor tertentu.
Sementara itu, pelayanan hukum bisa memanfaatkan Artificial Inteligence (AI) komputasi kognitif atau mesin pembelajaran, AI merupakan komputer yang menyelesaikan tugas-tugas tradisional. Kemampuan AI dalam memproses data untuk menemukan pola, tes, menganalisis dan mengevaluasi data untuk membuahkan sejumlah hasil, mempengaruhi bidang hukum, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah hukum, memberikan nasehat hukum secara online, bahkan nasehat ini dapat diungkapkan dengan simulasi suara komputer. Kemampuan inilah yang dapat dikatakan disruptif (mengganggu) dunia pengacara tetapi juga persepsi umum tentang proses hukum.
Bagi pengacara yang terbiasa mengandalkan klien mereka tidak mengetahui alternatif jasa hukum, aplikasi legal market place bisa mengganggu. Istilah ini termasuk sistem reputasi online yang memungkinkan klien berbagi pandangan mereka secara online, tentang kinerja dan tingkat pelayanan pengacara mereka seperti yang dilakukan para tamu hotel dan restoran: perbandingan harga. Mereka masing-masing memasang harga dan peringkat penasihat hukum dan firma hukum di situs web sederhana. Dalam hal ini klien maupun calon klien dapat window-shop jasa hukum, dan bahkan “membeli” layanan hukum secara langsung.
Di samping itu ada pula aplikasi sistem bimbingan hukum online Online legal guidance yang menyediakan informasi hukum, petunjuk hukum, dan nasehat hukum melalui Internet. Petunjuk ini bisa tidak berdasarkan permintaan. Sistem ini memungkinkan menyediakan diagnosa hukum, menghasilkan dokumen hukum, membantu audit dan memberikan informasi terkini. Tentunya aplikasi ini akan mengusik pengacara konvensional karena menjadi pesaing biaya murah bagi pengacara tradisional dalam hal konsultasi tatap muka.
Pengacara sering berkolaborasi secara online dalam jejaring sosial pribadi atas dasar kepentingan bersama. Mereka mungkin berbagi biaya layanan hukum tertentu dan juga sebagai alat untuk kolaborasi lebih erat antar firma hukum. Untuk firma yang menganut gagasan melayani klien mereka secara terpisah, platform Closed legal communities ini merupakan ancaman yang cukup besar.
Uniknya pengacara masa kini tidak mau putus atau tersendat hubungnnya dengan klien atau sejawat yang ada di firmanya. Mereka menggunakan sarana konektifitas tanpa henti. Teknologinya termasuk handset, tablet, akses broadband nir-kabel, video conferencing HD, pesan singkat, jaringan sosial, dan surel. Ketika teknologi ini digabungkan, dan mesinnya dihidupkan sepanjang waktu, pengacara selalu hadir pada jaringan kontak mereka.
Perkembangan yang pesat bagi Artificial Intellegence (“AI”) saat ini telah menyebarluaskan pemanfaatannya dalam berbagai sektor, termasuk juga sektor hukum. Para peneliti telah mengembangkan sistem AI yang dapat melakukan prediksi bagaimana pengadilan mengeluarkan putusannya dengan ketelitian hingga 79 persen. Karena hal ini, dinilai bahwa AI memiliki potensi untuk membantu profesi pengacara.
Pada saat ini banyak sektor bisnis yang bergantung dengan menggunakan teknologi salah satunya adalah di ranah hukum khususnya kepengacaraan. Secara singkat, hubungan antara AI dan Pengacara merupakan hubungan yang bersifat asistensi/bantuan dalam melakukan suatu pekerjaan. Integrasi teknologi dan AI dalam dunia profesi pengacara dimungkinkan dengan penggunaan program komputer dan alat/tools yang mendukung operasional kegiatan pengacara. Apabila melihat konsep penggunaannya, maka dapat dikatakan penggunaan AI dikatakan cukup rumit. Hal tersebut disebabkan sebenarnya dikarenakan sifat dari AI sendiri yang membantu urusan para pengacara di satu sisi, akan tetapi juga mengurangi porsi kerja yang ada bagi pengacara
AI dapat membantu meringankan pekerjaan sehari-hari seorang pengacara dengan cara pengolahan data yang cepat dengan akurasi yang cermat seperti ROSS. Sistem AI dapat membantu pekerjaan profesi pengacara dengan menyelesaikan masalah yang bersifat repetitif seperti telaah dokumen, legal research, dan legal drafting. Dengan demikian, hal tersebut dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya dari suatu firma hukum yang bertumpu pada periset dan paralegal dalam menjalankan aktivitasnya. Tidak hanya itu, pemanfaatan AI juga membantu interaksi dengan klien sehingga menghasilkan interaksi yang lebih objektif. Hal ini menunjukkan bahwa AI dapat menjadi alternatif di masa depan yang membuat semua hal lebih efektif dan praktis bagi seorang pengacara. Walaupun begitu, AI juga mempunyai kekurangan tersendiri yang tidak dimiliki oleh pengacara sungguhan salah satunya adalah AI tidak dapat menyaingi kemampuan berpikir manusia dalam mengerjakan sejumlah aktivitas hukum yang bersifat fundamental. Oleh karena itu muncul pertanyaan berikut: apakah dapat menggantikan peran pengacara yang ada saat ini?
Seorang pengacara harus memiliki kemampuan berpikir secara kritis dan dapat berinteraksi dengan klien secara efisien dalam menyelesaikan suatu perkara. Ketika kita menggunakan jasa pengacara, ia akan memberikan suatu Pendapat Hukum (Legal Opinion) kepada kita tentang isu-isu hukum pada masalah yang dihadapi serta menyampaikannya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh klien. Seorang pengacara juga dapat bernegosiasi dan mendampingi klien saat menjalankan kepentingannya. Walaupun AI memiliki tingkat akurasi dan efektivitas yang tinggi, serta dapat melampaui kemampuan manusia, AI tidak akan bisa menggantikan pengacara. AI hanya bisa mempermudah pengacara dalam menjalankan pekerjaannya tetapi tidak bisa secara penuh menggantikan pengacara yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keberadaan AI tidak perlu dianggap sebagai ancaman, namun AI memberikan peluang untuk mempercepat pekerjaan pengacara.
Pemanfaatan AI dalam dunia pengacara di Indonesia masih belum diatur. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutup kemungkinan pemanfaatannya dalam profesi advokat di Indonesia. Meskipun demikian beberapa firma hukum seperti UMBRA telah memanfaatkan sistem AI. Sistem AI digunakan khususnya dalam pelaksanaan due diligence yang dibantu dengan sistem AI bernama Luminance AI. Akan tetapi, Dalam praktik pengacara di Indonesia penggunaan AI juga belum diterapkan secara masif sebagaimana yang telah dilakukan di sejumlah negara tetangga seperti Singapura dan Thailand. (ath/bar)