DEAL FOKUS | Jika membaca sejarah, pulau Sumatera dulu dikenal dengan Malaka hingga menjadi wilayah hukum Kerajaan Sriwijaya. Puing-puing dan peninggalannya pun masih terlihat di beberapa daerah di pulau ini, sebut saja kota Palembang, sebagian kota Jambi, kota Bengkulu dan Negara bagian Malaysia di Penang, Melaka, dan Kuching.
Sejarah itu tak pernah berubah, bahkan ia harus dibaca dan dipahami oleh generasi kini dan akan datang.
Jika kita membaca sejarah, dahulu kala pulau Sumatera menjadi objek masukkan Islam ke Nusantara yang dimulai dari Barus kemudian sekarang menjadi wilayah hukum Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Sebagian ahli sejarah menulis Islam masuk di Aceh karena ada peninggalan kerajaan Samudera Pasai hingga menyebar ke seluruh nusantara.
Tak hanya sampai di sana, Islam juga menyebar hingga daerah Sumatera Selatan di kota Palembang dengan hadirnya Kesultanan Palembang Darussalam, kaum sufi dan ulama besar yang bernama Abdul Somad Al Palimbangi merantau ke Mekah bersama Abdul Rauf Singkil untuk belajar agama Islam kemudian setelah mereka tamat, pulang ke tanah air mengajarkan Islam di nusantara tepatnya pulau Sumatera.
Sekarang, Abdul Rauf Singkil menjadi ulama besar di Aceh tepatnya Aceh Singkil dan Abdul Samad menjadi ulama besar di kota Palembang Sumatera Selatan.
Lalu dimana keberadaan Cina? Menurut sumber tulisan Prof. Azyumardi Azra, masukkan Islam ke nusantara sekitar abad 13-14 M melalui perdagangan dan perkawinan. Mereka adalah pendatang asli India, Arab dan Cina, membawa barang dagangan mereka kemudian membuka toko di nusantara. Setelah lama berdagang mereka melakukan perkawinan dengan masyarakat setempat dan mempunyai keturunan sampai sekarang.
Salah satu pendatang yang menjadi pedagang ialah bangsa Cina, hal itu terbukti dari kehadiran Laksamana Cheng Ho ke perairan kota Palembang dan berlabuh di sana dalam kurun waktu yang lama. Cheng Ho selain sebagai panglima perang, ia juga membaca rombongan padagang yang menjual barang-barang asal Cina.
Sejak saat itu, pulau Sumatera kini menjadi wilayah perdagangan yang sebagian besar dipenuhi kaum Tionghoa. Sejak dikeluarkannya keputusan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, penduduk Cina menjadi bagian dari warga Negara Indonesia dan boleh membuat KTP, KK serta mengikuti pemilu, bahkan sekarang sebagian warga Cina bisa menjadi anggota DPR dan bekerja di pemerintahan.
Meskipun begitu, kepiawaian bangsa Cina bisnis berbisnis tidak terkalahkan, apalagi di pulau Sumatera. Hal itu keturunan nenek moyang mereka yang ahli berdagang dan membuka bisnis.
Kota Medan saja misalnya, sebagian pengusaha adalah bangsa Tionghoa, banyak barang-barang diperjualbelikan oleh mereka, mulai dari café dan resto, hotel berbintang hingga apartemen mewah.
Kehadiran jalan tol dan UU Cipta Kerja, memberikan peluang besar bagi pulau Sumatera untuk maju dan berkembang seperti halnya pulau Jawa dan Bali. Ke depan, prediksi sebagian pengamat ekonomi, pulau Sumatera akan menjadi macan di Asia Tenggara karena lebih banyak pelabuhan, ada Bandar udara internasional terbesar di Asia Tenggara dan akses menuju Malaysia, Singapura dan Thailand sangat dekat melalui kota Medan, kota Tanjung Balai dan pelabuhan Belawan. (ath)