Perempuan Papua: Menjaga Tanah, Menantang Waktu

Perempuan Papua: Menjaga Tanah, Menantang Waktu (Deal Channel)
Perempuan Papua: Menjaga Tanah, Menantang Waktu (Deal Channel)

DEAL GENDER | Di balik lembah-lembah hijau dan pegunungan yang melukis langit Papua, hidup para perempuan yang menyimpan kekuatan sunyi. Mereka bukan sekadar pelengkap dalam masyarakat adat. Mereka adalah penjaga nilai, pelestari budaya, dan kini, perlahan namun pasti, menjadi pelaku perubahan sosial di tanah yang kerap dicap tertinggal oleh pusat kekuasaan.

Perempuan Papua tidak hanya memikul noken di punggung mereka—mereka juga memanggul beban sejarah, ketidakadilan, dan impian akan masa depan yang lebih setara.

Read More

 

Menjadi Tulang Punggung di Tanah Sendiri

Di pedalaman Wamena, di lembah Baliem yang subur, perempuan memainkan peran utama dalam pertanian subsisten. Mereka menanam ubi, menjaga kebun, mengasuh anak, hingga berdagang di pasar lokal. Namun kerja keras mereka kerap tak dihitung dalam angka resmi perekonomian. Data dari BPS Papua menunjukkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan di Papua masih di bawah angka nasional.

Meski demikian, mereka tak menyerah pada invisibilitas. Di Jayapura, Sorong, dan Timika, gelombang kecil perempuan Papua mulai menuntut ruang. Mereka mendirikan koperasi, menggelar pelatihan, dan menjadi suara lantang dalam forum-forum advokasi hak tanah dan lingkungan.

 

Menghadapi Kekerasan Berlapis

Perempuan Papua berada di persimpangan banyak penindasan: kolonialisme struktural, militerisme, diskriminasi gender, hingga marginalisasi ekonomi. Dalam laporan Komnas Perempuan tahun-tahun terakhir, perempuan Papua tercatat sebagai kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan, baik dari negara maupun dalam ranah domestik.

Salah satu tokoh muda perempuan Papua, Yuliana Pigai, menyatakan: “Kami menghadapi bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga kekerasan simbolik. Identitas kami sering dianggap sebagai beban.” Ia terlibat dalam gerakan pendidikan alternatif di Nabire yang memberdayakan perempuan melalui literasi hukum dan lingkungan.

 

Menolak Dibelenggu Tradisi

Dalam banyak masyarakat adat Papua, perempuan masih terkungkung dalam norma-norma patriarkal. Perjodohan, larangan berpendapat, hingga pelarangan mewarisi tanah masih menjadi praktik yang lazim. Namun kini, muncul generasi muda perempuan Papua yang menolak tunduk.

Lembaga-lembaga lokal seperti Yayasan Harapan Ibu di Biak dan Perkumpulan Humi Inane di Merauke membuka ruang bagi perempuan untuk bicara. Mereka mengajarkan hukum adat yang berkeadilan gender, mendampingi korban kekerasan, hingga mengadvokasi keterlibatan perempuan dalam musyawarah adat.

 

Dari Akar Rumput ke Panggung Nasional

Perempuan Papua perlahan menembus sekat-sekat dominasi. Di bidang politik, keterwakilan mereka masih minim, tetapi suara-suara seperti Christina Suebu di parlemen atau Mama Yosepha Alomang, aktivis lingkungan dari Timika, memberi inspirasi luas. Lewat keberanian mereka, dunia luar mulai melihat Papua bukan hanya sebagai daerah konflik, tetapi juga sebagai tanah yang subur bagi gerakan perempuan.

 

Melangkah ke Masa Depan

Masih panjang jalan yang harus ditempuh. Pendidikan, layanan kesehatan, dan keadilan sosial masih menjadi pekerjaan rumah besar di Tanah Papua. Namun dari lembah hingga pesisir, dari pasar tradisional hingga panggung digital, perempuan Papua sedang bergerak—pelan tapi pasti.

Mereka adalah suara-suara yang selama ini dipinggirkan, kini mulai membentuk arus. Mereka bukan hanya korban dari sistem yang timpang, tapi pelaku utama dalam menata ulang relasi kuasa di tanah yang mereka cintai.

“Kami bukan hanya penunggu rumah. Kami pemilik tanah ini. Dan kami akan bersuara.” (ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *