DEAL PARALEGAL | Melihat di balik rimbunnya hutan Indonesia yang menjadi paru-paru dunia, tersimpan konflik laten yang terus membara: perebutan ruang hidup antara masyarakat adat, korporasi, dan negara. Dalam pusaran sengketa lahan, tumpang tindih izin konsesi, hingga kriminalisasi petani dan warga lokal, kehadiran paralegal menjadi semakin penting sebagai ujung tombak keadilan dari akar rumput.
Konflik tenurial di kawasan hutan kerap tidak hanya soal tumpang tindih kepemilikan, tetapi juga menyentuh persoalan identitas, sejarah, dan hak hidup komunitas. Dalam banyak kasus, warga lokal sering kali kalah dalam pertarungan hukum karena tak memiliki pengetahuan atau akses terhadap sistem hukum formal.
Di sinilah paralegal hadir. Mereka bukan pengacara bersertifikat, namun memiliki pemahaman mendalam tentang hukum dan advokasi yang dapat digunakan untuk mendampingi warga dalam memperjuangkan haknya—dari menyusun kronologi sengketa, mengawal proses mediasi, hingga memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang terdampak.
“Paralegal itu jantung perjuangan hukum kami. Mereka tinggal bersama kami, tahu kondisi lapangan, dan yang paling penting: mereka tidak bicara dari atas, tapi dari dalam,” kata Lastri, warga Dayak Modang di Kalimantan Timur yang terlibat dalam konflik lahan sejak 2017.
Menurut data dari beberapa lembaga advokasi lingkungan, seperti WALHI dan Epistema Institute, lebih dari 200 kasus konflik hutan masih aktif di seluruh Indonesia. Sering kali masyarakat tidak tahu harus ke mana mengadu, dan inilah yang membuat peran paralegal semakin strategis, apalagi di wilayah-wilayah terpencil dan belum terjangkau layanan hukum formal.
Sayangnya, keberadaan paralegal masih belum diakui secara penuh dalam sistem peradilan Indonesia. Belum ada payung hukum nasional yang menjamin perlindungan mereka saat mendampingi warga di lapangan. Padahal, dalam berbagai kasus, para paralegal kerap menjadi sasaran intimidasi, bahkan kriminalisasi.
“Paralegal butuh perlindungan, pelatihan berkelanjutan, dan pengakuan dari negara. Mereka bukan sekadar relawan, tapi bagian dari struktur keadilan itu sendiri,” tegas Dr. Rika Mardiana, ahli hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada.
Di tengah eskalasi pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, dan ketimpangan informasi, paralegal bukan hanya penghubung antara hukum dan masyarakat. Mereka adalah penjaga nurani hukum yang bekerja dalam senyap, di hutan-hutan yang masih memperjuangkan hak hidupnya.
Jika konflik hutan kian kompleks, maka solusi pun tak bisa lagi tunggal. Dibutuhkan sistem hukum yang berpihak dan terbuka—dan itu dimulai dengan menghormati mereka yang bekerja dalam sunyi: para paralegal. (ath)