Ketupat : Antara Kultur, Tradisi dan Acara Keagamaan

DEAL PROFIL | Ketupat adalah makanan berbahan dasar nasi yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda atau “janur” dalam bahasa Jawa. Ketupat dimasak dalam air mendidih dalam waktu lama, hingga ±5 jam. Beras ketan biasa digunakan sebagai isian ketupat, bisa direndam dalam air berisi daun pandan selama 30 menit sebelum diisi dengan bungkus janur untuk memberi rasa pada nasi. Daun kelapa muda juga dapat direndam dalam air untuk menghindari robekan saat anyaman. Di Indonesia, ketupat biasa disajikan dengan beberapa lauk pauk seperti gulai ayam, rendang, dan sate.

Ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan wali Islam Jawa, pada abad 15-16, terutama di Kabupaten Demak yang terletak di Jawa Tengah. Bakda Lebaran dan Bakda Kupat dikembangkan oleh Sunan Kalijaga. Bakda Lebaran dirayakan pada hari pertama Idul Fitri dengan sholat dan silaturahmi (berkunjung dan mengobrol), sedangkan Bakda Kupat dirayakan seminggu setelah hari Idul Fitri. Ketupat sangat erat kaitannya dengan tradisi perayaan dan pesta Idul Fitri. Saat Bakda Kupa, hampir setiap rumah terlihat ramai dan masyarakat mulai menganyam janur berbentuk ketupat. Setelah ketupat matang dan dikeringkan, dihadiahkan kepada tetangga/keluarga/kerabat sebagai simbol kebersamaan. Ketupat tidak hanya tersebar di Pulau Jawa, tetapi juga telah menyebar ke seluruh Indonesia dan negara lain, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Ini karena penyebaran agama Islam. Penyebaran Islam membawa serta salah satu tradisi budaya, yaitu menyajikan ketupat pada hari raya Idul Fitri

Read More

Ketupat melambangkan permintaan maaf dan berkah. Bahan utama ketupat adalah beras dan daun kelapa muda yang memiliki arti khusus. Padi dianggap sebagai lambang nafsu, sedangkan daun merupakan singkatan dari “Jatining nur” (cahaya sejati) dalam bahasa Jawa yang berarti hati nurani. Ketupat digambarkan sebagai simbol nafsu dan hati nurani; Artinya, manusia harus mampu menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya.

Dalam bahasa Sunda, ketupat disebut juga “kupat” yang artinya manusia tidak boleh “ngupat” yaitu membicarakan keburukan kepada orang lain.

Ketupat atau kupat diartikan sebagai “Jarwa dhosok”, yang juga berarti “ngaku lepat”. Dalam hal ini mengandung pesan bahwa seseorang harus meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Perilaku ini sudah menjadi kebiasaan atau tradisi pada awal Syawal atau Idul Fitri, dan akhir bulan puasa ditandai dengan makan ketupat beserta beberapa lauknya. Ketupat digunakan sebagai simbol pengakuan kepada Tuhan dan manusia.

Seorang antropolog Indonesia memaknai ketupat sebagai salah satu simbol solidaritas sosial atau hubungan timbal balik/memberi-menerima, yang dikenal dengan hukum timbal balik. Hubungan timbal balik tersebut terkait dengan kebiasaan saling memberi ketupat. Perilaku memberi menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara satu orang dengan orang lain. Perilaku demikian menandakan suatu hubungan sosial karena adanya kontak dan komunikasi dengan orang lain yang akan menimbulkan sikap solidaritas.

Ketupat terkadang disajikan sebagai persembahan pelengkap dalam upacara siklus hidup untuk merayakan empat bulan kehamilan. Jika anak yang baru lahir adalah laki-laki, mempersembahkan ketupat berarti memohon agar hidup sejahtera. Jika anak yang baru lahir adalah perempuan, keluarga berharap dia memiliki penampilan yang cantik dan berbudi luhur. (ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *