Nasi Biryani dan Kepala Kambing: Ekonomi Rasa ala Makkah

DEAL EKBIS | Makkah — Di balik riuh langkah jamaah dan peziarah yang setiap hari memenuhi jalanan sekitar Masjidil Haram, aroma rempah bercampur daging yang dimasak perlahan menyusup dari dapur-dapur restoran lokal. Nasi biryani ayam dan kepala kambing bukan sekadar santapan khas Makkah, tetapi juga denyut ekonomi yang menghidupi ribuan pelaku usaha kuliner di kota suci ini.

Dari dapur tradisional ke bisnis bernilai tinggi

Hidangan nasi biryani di Makkah memiliki keunikan: butiran beras panjang bercampur rempah, kunyit, kapulaga, dan cengkeh, disajikan dengan ayam panggang atau potongan kepala kambing yang dimasak lembut. Kombinasi ini tidak hanya memuaskan lidah jamaah dari berbagai negara, tetapi juga menjadi magnet bisnis.

Read More

“Kalau musim haji, permintaan bisa naik tiga sampai empat kali lipat. Setiap hari kami habiskan lebih dari 100 kilo beras basmati hanya untuk biryani,” ujar Abdul Karim, pemilik restoran kecil di daerah Aziziyah, yang melayani mayoritas jamaah Asia Tenggara.

Di kawasan sekitar Masjidil Haram, restoran biryani berjejer rapat. Dari usaha kaki lima hingga restoran besar, semuanya bersaing menyajikan menu yang sama dengan variasi harga, mulai dari 15 riyal (sekitar Rp65 ribu) untuk sepiring biryani ayam hingga lebih dari 60 riyal untuk sajian kepala kambing lengkap.

Kepala kambing: simbol prestise dan bisnis eksklusif

Jika biryani ayam menjadi hidangan sehari-hari, kepala kambing menempati posisi berbeda: simbol prestise sekaligus sumber keuntungan. Kepala kambing dimasak perlahan dengan bumbu khas Timur Tengah, disajikan utuh atau dipotong-potong. Bagi banyak jamaah, khususnya dari Afrika dan Asia Selatan, menikmati kepala kambing dianggap pengalaman sakral sekaligus bukti “merayakan ibadah dengan sempurna.”

“Menu kepala kambing itu bukan hanya makanan, tapi juga status. Banyak jamaah yang memesannya untuk dimakan bersama keluarga besar atau rombongan,” jelas Faisal Al-Harbi, pengusaha katering haji. “Satu kepala kambing bisa laku 300–400 riyal. Kalau ada 10 pesanan per hari, itu sudah omzet besar.”

Rantai pasok: dari pasar hewan hingga piring jamaah

Bisnis biryani dan kepala kambing melibatkan rantai ekonomi panjang. Pedagang beras impor, pemasok rempah, peternak kambing lokal, hingga pekerja migran yang menjadi juru masak atau pelayan, semuanya bergantung pada industri kuliner ini.

Di Pasar Sentral Makkah, puluhan pedagang kambing melayani permintaan restoran. Saat musim haji, ratusan kambing dipasok setiap hari. Sementara itu, beras basmati didatangkan dari India dan Pakistan, menciptakan jaringan perdagangan internasional yang menembus batas negara.

“Kalau stok kambing habis, harga langsung naik. Pemilik restoran harus pintar-pintar mengatur agar tetap bisa melayani jamaah,” kata Jamaluddin, seorang pedagang hewan di Makkah.

Migran sebagai tulang punggung

Dapur restoran biryani di Makkah sering kali diisi tenaga kerja migran dari India, Bangladesh, hingga Indonesia. Mereka tidak hanya menguasai resep, tetapi juga menciptakan cita rasa lintas budaya. Perpaduan teknik masak India dan selera lokal Arab melahirkan biryani Makkah yang khas.

“Chef dari Asia Selatan biasanya yang pegang bumbu, karena mereka ahli meracik rempah. Orang Indonesia banyak jadi asisten dapur, pekerja, atau manajer layanan untuk jamaah Asia Tenggara,” jelas Dr. Saeed Al-Qahtani, peneliti sosial ekonomi Universitas Umm Al-Qura.

Ekonomi musiman: lonjakan di musim haji dan umrah

Puncak keuntungan datang di musim haji, ketika jutaan jamaah memadati Makkah. Restoran-restoran buka 24 jam, kursi penuh, dan antrean panjang menjadi pemandangan biasa. Di musim umrah Ramadan, pola yang sama terulang.

Namun, di luar musim haji, bisnis bisa turun drastis. Banyak restoran mengurangi jam buka atau bahkan tutup sementara. “Kalau bukan musim, omzet bisa turun lebih dari separuh. Tapi kami bertahan, karena keuntungan musim haji sudah cukup untuk menutup biaya,” ujar Abdul Karim.

Identitas kuliner dan daya tarik wisata religi

Nasi biryani dan kepala kambing kini bukan sekadar menu lokal, tetapi bagian dari identitas kuliner Makkah yang memperkaya pengalaman ibadah. Banyak jamaah menjadikannya oleh-oleh cerita, membawa pulang kesan tentang cita rasa rempah dan kehangatan makan bersama di kota suci.

Bagi pemerintah Arab Saudi, kuliner juga dipandang sebagai bagian dari ekosistem ekonomi haji. Seiring visi Saudi Vision 2030 yang menekankan diversifikasi ekonomi, restoran biryani dan bisnis kepala kambing dianggap sebagai sektor potensial untuk menyerap tenaga kerja dan memutar arus modal di luar minyak.

Di atas meja panjang restoran, sepiring nasi biryani ayam dan kepala kambing tersaji hangat. Jamaah duduk melingkar, menyuapkan sendok pertama sambil mengucap doa. Bagi mereka, ini adalah bagian dari perjalanan spiritual. Bagi pemilik restoran, ini adalah denyut bisnis yang menopang keluarga dan pekerjaannya.

Dari sebutir beras basmati hingga kepala kambing yang dimasak lembut, tersimpan kisah ekonomi yang tidak kalah sakral dari ibadah: bagaimana makanan sederhana bisa menjadi penghubung antara rasa, budaya, dan rezeki di kota paling suci umat Islam. (ath)

 

Pastikan anda terus menerima berita update dari Deal Channel melalui Whatsapp Channel:
https://whatsapp.com/channel/0029VaFToFG8kyyGpriTkR0G

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *