Menyelami Nuansa Spiritual dalam Perjalanan Umrah di Tanah Suci

DEAL ZIQWAF | Makkah–Madinah — Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia datang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah umrah. Dari Indonesia, gelombang jamaah terus mengalir, menempuh ribuan kilometer perjalanan udara sebelum akhirnya menjejakkan kaki di tanah yang penuh doa dan sejarah. Namun, di balik ritme perjalanan yang diwarnai antrean bandara, perjalanan bus, dan kepadatan hotel, ada pengalaman batin yang jauh lebih mendalam: nuansa spiritual yang menyelimuti setiap langkah jamaah di Makkah dan Madinah.

Jejak pertama di tanah suci

Bagi banyak jamaah, momen pertama melihat Ka’bah di Masjidil Haram menjadi puncak emosi yang tak terlukiskan. Air mata menetes tanpa diminta, doa-doa terucap spontan, dan rasa kecil di hadapan kebesaran Allah begitu nyata.

Read More

“Begitu masuk Masjidil Haram dan melihat Ka’bah, dada saya bergetar. Seperti tidak percaya, akhirnya saya ada di sini,” ujar Nuraini, jamaah asal Surabaya yang berangkat bersama suaminya. “Semua lelah perjalanan langsung hilang.”

Perasaan itu diperkuat dengan suasana ribuan jamaah dari berbagai bangsa yang tawaf mengelilingi Ka’bah, serempak dalam harmoni gerakan, meski berasal dari latar bahasa dan budaya yang berbeda.

Harmoni doa dan kesunyian batin

Di Masjidil Haram, setiap detik terasa penuh makna. Shalat lima waktu yang diimami qari terkenal, zikir di sela-sela duduk, atau sekadar menatap Ka’bah dengan penuh khusyuk menghadirkan pengalaman spiritual yang sulit tergantikan.

Tak hanya di Makkah, nuansa serupa juga dirasakan di Madinah. Di Masjid Nabawi, suasana lebih tenang, penuh keheningan. Ribuan jamaah larut dalam shalat dan doa di Raudhah — taman surga yang diyakini sebagai tempat mustajab untuk bermunajat.

“Di Raudhah, saya merasa sangat dekat. Doa yang selama ini saya simpan, semua keluar begitu saja,” kata Abdul Rahman, jamaah asal Medan.

Perjalanan antara ibadah dan refleksi

Perjalanan umrah tidak sekadar ritual fisik. Setiap tahapan membawa pesan kontemplatif. Saat melakukan sa’i antara bukit Safa dan Marwah, jamaah diingatkan pada keteguhan Siti Hajar dalam mencari air bagi putranya, Ismail. Rasa lelah yang dirasakan seakan berbaur dengan kisah perjuangan seorang ibu ribuan tahun lalu.

Di Mina, Arafah, atau Muzdalifah — meski lebih identik dengan haji — jamaah umrah yang berkunjung tetap merasakan getar sejarah. Gurun pasir dan bukit batu menjadi saksi perjalanan spiritual para nabi.

Ruang solidaritas dan kebersamaan

Nuansa spiritual juga tumbuh dari interaksi sesama jamaah. Di hotel, di bus, atau di area makan bersama, muncul kebiasaan saling membantu: menuntun lansia, membagikan makanan ringan, atau sekadar menenangkan jamaah yang gugup. Solidaritas ini menjadi bagian penting dari perjalanan spiritual.

“Ketika menolong orang yang tidak kita kenal, rasanya luar biasa. Seolah ibadah kita bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sesama,” ujar Siti Aminah, seorang jamaah yang pertama kali umrah di usia 62 tahun.

Antara duniawi dan ukhrawi

Modernisasi membuat ibadah umrah kini lebih mudah: transportasi cepat, hotel nyaman, bahkan aplikasi digital untuk jadwal ibadah. Namun, bagi banyak jamaah, kemudahan ini justru memberi ruang lebih besar untuk fokus pada dimensi ruhani.

Meski begitu, godaan duniawi tetap ada: belanja suvenir, wisata kuliner, hingga aktivitas fotografi. Perjalanan spiritual menjadi latihan keseimbangan — menjaga niat agar tetap lurus, sembari menghadapi dinamika kehidupan modern di Tanah Suci.

Umrah adalah perjalanan singkat, tetapi dampaknya panjang. Bagi banyak jamaah, kepulangan ke tanah air membawa perubahan: lebih tekun beribadah, lebih sabar, dan lebih sadar akan arti kehidupan.

“Umrah ini seperti cermin,” kata Zulkifli, jamaah asal Makassar. “Kita belajar mengenali diri sendiri, menyadari betapa kecilnya kita di hadapan Allah, dan betapa besar rahmat-Nya bagi kita.”

Di Tanah Suci, setiap langkah terasa doa, setiap napas membawa makna. Nuansa spiritual itu bukan hanya kenangan, tetapi juga bekal untuk menjalani hidup dengan hati yang lebih tenang dan niat yang lebih tulus. (ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *