Contents
Representasi Perempuan: Angka dan Realitas
Sepekan sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani dalam Sidang Tahunan menyinggung pentingnya kesetaraan gender, bahkan sempat melantunkan potongan lagu “Imagine.” Ia mengingatkan bahwa periode 2024–2029 mencatat keterwakilan perempuan di DPR sebesar 21,9% atau 127 dari 580 kursi—rekor tertinggi, meski mayoritas kursi tetap dikuasai laki-laki. Gambaran itu tercermin pula dalam rapat royalti: kehadiran perempuan masih terbatas di tengah dominasi figur pria yang menduduki kursi penentu.
Dari Pendengar Menjadi Perumus
Hasil konsultasi pada 21 Agustus melahirkan dua kesepakatan penting: penghentian polemik berkepanjangan dan pelibatan langsung para musisi dalam tim perumus revisi UU Hak Cipta. Artinya, suara perempuan—baik dari jalur legislatif seperti Melly Goeslaw maupun dari industri seperti Vina Panduwinata—berpeluang masuk ke tahap teknis, mulai dari rumusan tarif, mekanisme audit, hingga pola distribusi royalti. Jika dijalankan dengan adil, representasi itu bisa berkembang dari sekadar simbol menjadi kontribusi substansial.
Mengapa Kehadiran Perempuan Penting?
Kehadiran perempuan dalam perumusan kebijakan royalti penting setidaknya karena tiga alasan:
- Pengalaman perempuan di industri musik sering terkait isu kontrak timpang, akses panggung terbatas, hingga beban domestik.
- Tata kelola LMK/LMKN serta sistem data pemutaran membutuhkan perspektif beragam agar tidak bias.
- Pengawasan distribusi dan transparansi lebih kuat bila melibatkan aktor perempuan yang peka terhadap isu akuntabilitas.
Potret Ruang Rapat: Hadir, tapi Belum Imbang
Catatan rapat menunjukkan Vina Panduwinata hadir mewakili kalangan musisi perempuan, sementara Melly Goeslaw menjadi suara legislator sekaligus pelaku kreatif. Namun, dokumentasi lapangan tetap memperlihatkan dominasi laki-laki. Kehadiran perempuan sudah tampak, tetapi belum berimbang. Kondisi ini mencerminkan struktur politik nasional yang masih berkutat di kisaran dua puluh persen keterwakilan perempuan. Tantangan berikutnya adalah memastikan kursi perempuan benar-benar punya pengaruh dalam penyusunan norma hukum, bukan sekadar pengisi daftar hadir.
Tolok Ukur ke Depan
- Keterlibatan perempuan di tim perumus, termasuk posisi strategis seperti subkelompok tarif, data, dan audit.
- Dokumentasi isu yang diangkat perempuan, seperti skema khusus UMKM dan transparansi distribusi royalti.
- Publikasi resmi—risalah rapat, konferensi pers, draf awal—yang menampilkan kontribusi perempuan agar akuntabilitas dapat dipantau publik.
- Regulasi yang sesuai praktik nyata perempuan di industri, termasuk perlindungan saat sengketa lisensi atau pelaporan.
Rapat DPR pada 21 Agustus 2025 menjadi momentum ganda: meredam kegaduhan soal royalti sekaligus menguji kualitas representasi perempuan dalam kebijakan hak cipta. Data menunjukkan angka keterwakilan meningkat, dan kehadiran tokoh seperti Melly Goeslaw serta Vina Panduwinata memberi warna dalam forum strategis. Langkah berikutnya adalah mengubah representasi itu menjadi pengaruh nyata dalam desain sistem royalti—agar aturan yang lahir tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga adil bagi semua pelaku, termasuk perempuan yang selama ini kurang mendapat ruang. (ath)