Perlindungan Hukum bagi Perempuan Pekerja Migran di Perkebunan Alpukat

DEAL PARALEGAL | Di balik popularitas buah alpukat yang kian merajai pasar global, tersembunyi kisah pilu perempuan-perempuan tangguh yang menjadi pekerja migran di sektor perkebunan alpukat, terutama di negara-negara penghasil seperti Meksiko, Peru, dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Mereka datang dari berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, Filipina, dan Asia Selatan, membawa harapan hidup lebih baik. Namun, di ladang-ladang hijau tempat mereka menggantungkan nasib, tak jarang mereka justru terjebak dalam rantai eksploitasi dan kekosongan perlindungan hukum.

Fakta Lapangan: Eksploitasi dan Diskriminasi

Beragam laporan dari organisasi buruh internasional dan LSM menunjukkan bahwa pekerja migran perempuan kerap menghadapi kondisi kerja yang jauh dari layak. Mereka harus bekerja lebih dari delapan jam sehari tanpa kontrak kerja yang jelas, tanpa akses terhadap jaminan kesehatan, serta mengalami diskriminasi berbasis gender. Kekerasan seksual dan pelecehan verbal di lingkungan kerja menjadi ancaman nyata yang nyaris tidak tersentuh oleh hukum.

Read More

Di banyak perkebunan alpukat, sistem kerja berbasis subkontrak membuat posisi pekerja perempuan makin rentan. Mereka sering kali tidak tercatat secara resmi dalam sistem ketenagakerjaan negara setempat, menjadikan mereka tak punya akses terhadap lembaga penyelesaian sengketa maupun perlindungan hukum dasar.

Celah Hukum dan Ketimpangan Gender

Masalah utama terletak pada lemahnya instrumen perlindungan hukum lintas negara. Banyak negara pengirim seperti Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral spesifik dengan negara tujuan yang mengatur secara detail hak-hak pekerja migran sektor pertanian.

Sementara itu, negara penerima lebih fokus pada pengamanan produksi dan ekspor alpukat ketimbang menjamin hak-hak pekerja yang menopang industri tersebut. Ketimpangan gender terlihat dari minimnya regulasi yang menjamin hak reproduksi perempuan migran—seperti cuti hamil, fasilitas sanitasi layak, hingga ruang aman dari pelecehan.

Upaya Perlindungan dan Harapan Baru

Meski kondisi ini masih memprihatinkan, sejumlah langkah positif mulai terlihat. Beberapa negara tujuan, seperti Chile dan Meksiko, telah mulai meninjau kembali standar ketenagakerjaan mereka seiring tekanan dari komunitas internasional. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mendorong ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Pekerjaan Layak bagi Pekerja Rumah Tangga serta No. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, yang bisa menjadi landasan hukum untuk melindungi pekerja migran perempuan.

Dari sisi negara pengirim, Indonesia melalui Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah mulai memperkuat pelatihan paralegal berbasis komunitas dan sosialisasi hak-hak pekerja migran sebelum keberangkatan. Namun, implementasi di lapangan masih sangat terbatas, terutama di sektor-sektor informal seperti perkebunan.

Saatnya Berubah

Perempuan pekerja migran di perkebunan alpukat tidak hanya menanam dan memetik buah bagi pasar global, mereka juga menabur harapan bagi keluarganya. Sudah waktunya dunia memberikan perlindungan hukum yang setara bagi mereka.

Negara pengirim dan penerima harus duduk bersama, merumuskan standar perlindungan yang menjamin keamanan, keadilan, dan martabat perempuan pekerja migran. Tanpa langkah konkret, alpukat yang tersaji di meja makan global akan selalu berwarna hijau di luar, tetapi menyimpan tangisan perempuan di dalam.

Dunia harus memilih: membiarkan tangisan itu terus bergaung, atau menghadirkan keadilan sebagai pupuk bagi masa depan yang lebih baik.

(ath)

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *