Ruang Suci, Ruang Perempuan: Menelusuri Dinamika Perempuan di Masjid

DEAL GENDER | Di balik keheningan lantunan doa dan gemuruh takbir yang membahana di masjid-masjid seluruh nusantara, ada satu narasi yang perlahan menguat: kehadiran perempuan di ruang-ruang ibadah utama Islam. Tak lagi sebatas pengunjung pasif, perempuan kini hadir sebagai jamaah aktif, pencari ilmu, bahkan penggerak dakwah. Namun, perjalanan mereka menuju ruang suci ini tidak selalu mulus.

 

Read More

Masjid dan Perempuan: Antara Syariat dan Sosial

Masjid sebagai rumah Allah sejatinya terbuka bagi seluruh umat Islam tanpa memandang jenis kelamin. Dalam banyak riwayat, Rasulullah SAW membolehkan dan bahkan mendorong perempuan untuk datang ke masjid. Namun, dalam praktik keseharian, perempuan kerap menemui hambatan—baik berupa batasan fisik seperti ruang yang sempit dan terpisah, maupun hambatan kultural dan sosial.

“Seringkali kami hanya diberi ruang kecil di belakang, tanpa pengeras suara, tanpa akses ke kegiatan utama,” ujar Ibu Rina (47), jamaah rutin di sebuah masjid besar di Jakarta Selatan. “Padahal kami datang bukan hanya untuk salat, tapi juga ingin belajar dan terlibat.”

 

Perempuan dan Aktivisme Masjid

Di sejumlah kota, tren mulai berubah. Masjid-masjid di perkotaan mulai mengakomodasi kebutuhan perempuan secara lebih inklusif. Di Masjid Salman ITB Bandung, misalnya, perempuan aktif terlibat sebagai panitia kegiatan, pengisi kajian, bahkan pengelola program sosial berbasis masjid.

“Kami percaya masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi pusat peradaban. Dan perempuan adalah bagian dari peradaban itu,” kata Nur Haliza, Ketua Divisi Muslimah Masjid Salman.

Fenomena ini juga tampak dalam meningkatnya jumlah peserta perempuan dalam kajian tafsir, kelas fikih, hingga pelatihan dakwah yang digelar di masjid-masjid kampus dan komunitas.

 

Tantangan dan Stigma yang Belum Usai

Namun tidak semua wilayah menunjukkan keterbukaan yang sama. Di beberapa daerah, perempuan yang rutin ke masjid masih dipandang dengan curiga. Ada anggapan bahwa perempuan sebaiknya beribadah di rumah, bahwa kehadiran mereka bisa “mengganggu” kekhusyukan laki-laki, atau bahwa perempuan yang aktif di masjid dianggap terlalu vokal dalam urusan agama.

“Ini bukan sekadar soal ruang fisik, tapi soal cara pandang yang masih patriarkis,” ujar Dr. Laila Rahmawati, peneliti gender dan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Perempuan masuk masjid seringkali menjadi perdebatan bukan karena syariat, tapi karena tafsir sosial.”

 

Menuju Masjid yang Ramah Perempuan

Upaya menjadikan masjid ramah perempuan terus digaungkan oleh sejumlah organisasi keislaman. Mereka mendorong desain arsitektur masjid yang memperhatikan akses dan kenyamanan bagi perempuan—dari ruang wudu, ruang laktasi, sampai fasilitas kajian keluarga. Selain itu, ada dorongan agar perempuan juga diberi ruang berbicara dalam struktur kepengurusan masjid.

Kementerian Agama RI juga telah beberapa kali mengeluarkan imbauan agar masjid menjadi ruang inklusif bagi semua umat, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak.

“Ruang suci harus menjadi ruang yang membesarkan jiwa, bukan yang menyempitkan,” kata Menteri Agama dalam salah satu pidatonya di peringatan Hari Santri.

Masjid bukan milik satu jenis kelamin, satu golongan, atau satu cara berpikir. Ia adalah rumah Allah yang seharusnya menjadi tempat seluruh hamba mendekat, belajar, dan bertumbuh dalam keimanan. Kehadiran perempuan di masjid bukan sekadar soal hak ruang, tetapi juga hak spiritual, hak untuk berkontribusi dalam membangun peradaban Islam yang adil dan beradab. (ath)

Related posts