DEAL RILEKS | Jeddah bukan sekadar kota gerbang menuju Mekkah dan Madinah. Kota pelabuhan di tepi Laut Merah ini juga merupakan jantung budaya, ekonomi, dan mobilitas Arab Saudi. Di tengah modernitas yang merambah setiap sudutnya, ada satu elemen yang tetap hidup dan berdenyut di antara gedung pencakar langit, hotel internasional, dan pasar tradisional: taksi kota Jeddah — kendaraan yang bukan hanya mengantar, tetapi juga menyimpan cerita, warna, dan wajah kota.
Contents
Antara Tradisional dan Digital: Taksi Jeddah di Persimpangan Zaman
Bagi wisatawan, jemaah umrah, maupun warga lokal, taksi menjadi pilihan utama untuk menjelajahi Jeddah. Dari pelabuhan hingga Corniche, dari Al-Balad yang bersejarah hingga mal modern seperti Red Sea Mall — taksi menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan kota.
Kini, di Jeddah, ada dua jenis taksi yang umum ditemui:
- Taksi Konvensional (Taksi Putih):
Dengan ciri khas mobil sedan berwarna putih dan argo manual, taksi ini sering ditemukan mangkal di bandara, terminal bus, dan hotel-hotel klasik. Para sopirnya, yang kebanyakan berasal dari Yaman, Mesir, Sudan, atau Pakistan, memiliki karakter unik — kadang hangat, kadang tegas, tapi hampir selalu bersahabat. - Taksi Aplikasi (Ride-Hailing):
Seiring gelombang digitalisasi, layanan seperti Uber dan Careem telah mengubah wajah mobilitas Jeddah. Mobil-mobil sedan dan SUV ber-AC, dengan pengemudi lokal yang terlatih dan sistem pemesanan berbasis aplikasi, kini menjadi primadona kalangan muda, ekspatriat, dan wisatawan.
“Naik taksi di Jeddah sekarang nyaman dan mudah. Saya cukup pesan lewat ponsel, dan sopir datang tepat waktu,” ujar Fadil, pelajar asal Indonesia yang menempuh studi di Universitas King Abdulaziz.
Lebih dari Sekadar Transportasi: Taksi Sebagai Jendela Kota
Bagi banyak orang, taksi bukan sekadar kendaraan — ia adalah cermin kehidupan Jeddah. Dari balik kaca jendela taksi, penumpang bisa melihat kontras yang memikat: hotel berbintang berdampingan dengan pasar tradisional, wanita dengan abaya hitam berjalan santai di Corniche, burung camar melayang di atas laut biru, dan masjid-masjid tua yang berdiri di tengah hiruk-pikuk jalan.
Di balik kemudi, para sopir taksi menjadi narator tak resmi kota ini.
“Saya sudah 17 tahun menyetir di Jeddah. Kota ini berubah cepat, tapi orang-orangnya tetap ramah. Banyak jemaah haji dari Indonesia, mereka suka ngobrol tentang keluarga dan ibadah,” tutur Ahmed, sopir taksi asal Sudan, dengan logat Arab yang bersahabat.
Banyak pengemudi bahkan hafal rute menuju berbagai kantor haji, kedutaan besar, rumah sakit, hingga restoran halal dari berbagai negara. Beberapa bahkan menjadi ‘pemandu wisata’ dadakan, menawarkan rute unik melewati kawasan bersejarah seperti Al-Balad atau pantai utara Obhur.
Harga dan Etika Layanan
Di tengah peningkatan kualitas layanan, masih ada tantangan yang perlu dibenahi. Beberapa sopir taksi konvensional kadang enggan menggunakan argo atau menaikkan tarif untuk penumpang asing. Namun, pemerintah kota Jeddah kini lebih gencar melakukan pengawasan dan pelatihan terhadap sopir taksi, termasuk mewajibkan penggunaan argo digital dan penilaian pelanggan melalui aplikasi resmi.
Tarif taksi Jeddah umumnya dimulai dari SAR 10–12 (sekitar Rp 40.000–50.000), dan bisa lebih tinggi tergantung jarak, waktu tempuh, atau jenis kendaraan.
Taksi Wanita dan Era Baru Kesetaraan
Sebagai bagian dari reformasi sosial Arab Saudi, sejak 2018, perempuan juga diizinkan menjadi sopir taksi, khususnya untuk melayani penumpang wanita dan keluarga. Di Jeddah, beberapa layanan seperti Careem Women Captain telah menghadirkan pengemudi perempuan yang terlatih dan profesional, memberi rasa nyaman dan aman bagi sesama perempuan.
“Saya merasa lebih tenang dijemput oleh sopir perempuan. Ini langkah maju untuk kami,” ujar Nur, jemaah asal Malaysia yang sedang menginap di distrik Al-Rehab.
Taksi, Wajah Sehari-hari Kota Jeddah
Di tengah gemerlap modernitas dan arus ziarah global, taksi di Jeddah tetap menjadi denyut nadi keseharian kota. Ia bukan hanya alat transportasi, tapi juga cermin kehidupan, sarana silaturahmi, dan ruang interaksi budaya. Dari kursi belakang taksi, siapa pun — entah wisatawan, jemaah, atau warga lokal — bisa melihat wajah sejati Jeddah: ramah, dinamis, dan penuh warna. (ath)