DEAL PARALEGAL | Dalam upaya memperkuat tata kelola hukum di sektor transportasi publik, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM bersama Kementerian Perhubungan meluncurkan inisiatif perumusan norma hukum bagi paralegal kereta api. Langkah ini dinilai sebagai gebrakan penting dalam menciptakan sistem hukum yang lebih responsif dan efisien di lingkungan perkeretaapian nasional.
Seiring dengan meningkatnya volume penumpang dan kompleksitas regulasi perkeretaapian, peran paralegal—selama ini dikenal dalam dunia advokasi komunitas—mulai dilirik untuk diterapkan di lingkungan kerja PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan mitra operator lainnya. Paralegal kereta api adalah individu yang bukan pengacara, namun memiliki pelatihan hukum dasar dan diakui secara fungsional untuk membantu menyelesaikan masalah hukum administratif, sengketa kecil, hingga penyuluhan hukum bagi petugas dan penumpang.
“Ini adalah bentuk demokratisasi akses terhadap keadilan di sektor publik. Di tengah keterbatasan jumlah advokat atau konsultan hukum, paralegal kereta api menjadi garda depan dalam mengedukasi, mendamaikan, bahkan mencegah konflik hukum di stasiun, gerbong, maupun lingkungan kerja perkeretaapian,” ujar Direktur Jenderal HAM, Kemenkumham, Dr. Dhahana Putra dalam sebuah forum nasional di Bandung, awal Mei 2025.
Contents
Ruang Lingkup dan Landasan Hukum
Norma hukum bagi paralegal kereta api dirancang untuk mencakup beberapa aspek utama:
- Penyuluhan hukum di lingkungan stasiun dan layanan penumpang
- Pendampingan internal terhadap pekerja kereta api terkait masalah perdata dan ketenagakerjaan
- Mediasi konflik antarpenumpang, atau antara penumpang dengan petugas
- Pemantauan penerapan aturan hukum perkeretaapian, termasuk peraturan keselamatan dan perlindungan konsumen
RUU Norma Paralegal Kereta Api ini sedang difinalisasi melalui harmonisasi antara regulasi perkeretaapian (UU No. 23 Tahun 2007) dan sistem peradilan nasional. Sebagai landasan, konsep ini merujuk pada Peraturan Menkumham No. 3 Tahun 2021 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum yang kini diperluas ke ranah institusi BUMN dan transportasi.
Transformasi Budaya Hukum di Rel
Kehadiran paralegal ini tidak hanya akan memperkuat aspek hukum, tetapi juga mendorong budaya kerja dan layanan publik berbasis hukum. PT KAI bahkan telah melakukan pelatihan awal terhadap 200 petugas frontliner, keamanan stasiun, dan staf administratif untuk berperan sebagai “paralegal internal” yang memiliki pemahaman dasar soal penyelesaian konflik, HAM, hingga advokasi sosial.
“Petugas kami bukan hanya operator teknis, tapi juga perpanjangan tangan hukum negara. Dengan pelatihan ini, mereka tidak asal mengusir penumpang atau menangani komplain dengan cara otoriter,” ujar EVP Corporate Secretary KAI, Raden Risal Wasal.
Kritik dan Tantangan Implementasi
Meski mendapat banyak dukungan, beberapa pihak mengingatkan agar regulasi ini tidak disalahgunakan untuk menggantikan posisi advokat. “Paralegal bukan pengacara. Mereka harus dibatasi fungsinya agar tidak menimbulkan praktik hukum liar,” kata Ketua Peradi Suara Advokat Indonesia, Dr. Hendra Wahyudi.
Di sisi lain, para penumpang menyambut baik langkah ini. “Selama ini banyak petugas nggak ngerti hukum. Kalau ada yang kasar atau ada sengketa tiket, penumpang bingung mau ngadu ke mana. Paralegal bisa jadi penengah,” kata Dwi Retno, penumpang KRL jurusan Bogor-Jakarta.
Masa Depan dan Ekspansi Nasional
Jika regulasi ini berhasil diterapkan, model paralegal kereta api akan diperluas ke moda transportasi lain seperti bus antarkota, pelabuhan laut, dan bandara. Pemerintah juga berencana menggandeng perguruan tinggi hukum untuk membentuk program khusus pelatihan paralegal transportasi publik.
Dengan demikian, paralegal kereta api bukan hanya instrumen hukum tambahan, melainkan simbol bahwa hukum harus hadir di ruang-ruang paling dekat dengan masyarakat. Di rel, di stasiun, dan di antara ribuan perjalanan harian warga, hukum kini berjalan beriringan dengan roda kereta. (ath)