Miniatur Dunia, Besar Maknanya: Diorama Jadi Pelarian Kreatif Gen-Z dari Hiruk Pikuk Digital

DEAL PROFIL | Di tengah dominasi konten serba cepat dan budaya digital instan, muncul tren yang tak terduga dari kalangan Gen-Z: membuat diorama, seni menyusun miniatur tiga dimensi yang menggambarkan skenario kehidupan nyata atau imajinatif dalam skala kecil. Dari kamar tidur sempit di apartemen kota hingga pojok rumah kontrakan mahasiswa, dunia-dunia mini itu hidup dengan ketelitian luar biasa, mewakili kerinduan akan kontrol, kedalaman, dan ketenangan.

Alih-alih menghabiskan waktu sepenuhnya di TikTok atau Instagram, sebagian Gen-Z mulai memposting video “Mini Diorama Time-lapse” mereka—membangun replika pasar tradisional, kamar sekolah era 2000-an, bahkan scene fantasi dari anime atau film horor. Tagar #DioramaIndonesia dan #GenZDiorama bahkan mulai naik daun di media sosial, mengantongi jutaan tayangan.

Read More

“Saya bikin diorama warung Indomie karena saya rindu suasana malam di kampung,” kata Ciko (21), mahasiswa desain dari Yogyakarta yang sudah memiliki lebih dari 120 ribu pengikut di TikTok berkat karya miniatur autentiknya. “Dari tekstur tembok retak sampai bungkus mi yang dikecilkan 1:12, semua saya buat sendiri.”

 

Melawan Kejenuhan Digital dengan Sentuhan Fisik

Psikolog anak muda, Dr. Irma Nursanti, menilai fenomena ini sebagai “reaksi alami terhadap kejenuhan digital”. Dalam dunia yang serba cepat dan terus menerus menuntut validasi, hobi seperti diorama menawarkan proses yang pelan, intim, dan penuh refleksi.

“Gen-Z tumbuh dengan gawai, tapi mereka haus pengalaman nyata yang bisa mereka sentuh, kontrol, dan banggakan secara mendalam. Diorama menjawab kebutuhan itu—ia mengembalikan rasa fokus dan kepemilikan,” jelas Dr. Irma.

 

Antara Seni, Terapi, dan Identitas Sosial

Tidak hanya sekadar menempel kayu dan mengecat. Diorama bagi Gen-Z adalah media ekspresi visual sekaligus alat terapi. Beberapa membuat diorama dari masa kecil yang ingin mereka ingat, sebagian lain dari peristiwa traumatis yang ingin mereka pahami ulang.

“Waktu saya bikin diorama ruang kelas SD lengkap dengan bangku rusak dan kaca jendela pecah, itu cara saya berdamai dengan kenangan dibully dulu,” ujar Aisya (19), pelajar SMK di Bandung yang kini aktif menjual diorama buatannya lewat Instagram.

 

Dari Hobi ke Ladang Bisnis

Meskipun bermula dari hobi pribadi, komunitas diorama Gen-Z di Indonesia kini mulai berkembang sebagai ekosistem kreatif dan wirausaha baru. Banyak yang menjual kit miniatur buatan tangan, menerima pesanan skenario custom, atau membuka kursus daring membuat diorama.

“Orderan saya sekarang justru dari orang tua yang ingin menghadiahkan miniatur toko kelontong keluarga mereka,” kata Fadil (23), perintis brand MiniSemesta di Surabaya. Ia mencetak omzet jutaan rupiah per bulan hanya dari penjualan diorama lokal.

Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Malang, sudah muncul event “Mini Expo” yang menghadirkan pameran diorama Gen-Z dengan tema kreatif seperti “Jakarta 1990”, “Toko Buku Mati”, hingga “Cyberpunk Pasar Senen”.

 

Tantangan dan Dukungan

Namun, diorama bukan hobi murah. Bahan-bahan seperti resin, kayu balsa, hingga cat akrilik berkualitas tinggi tidak selalu mudah diakses. Beberapa penggiat berharap pemerintah dan komunitas kreatif memberi ruang dan dukungan bagi pelaku hobi ini.

“Bayangkan kalau ada pelatihan diorama untuk anak muda putus sekolah atau terapi trauma. Ini bisa jadi gerakan sosial dan ekonomi baru,” ujar Novi Rahma, koordinator Komunitas MiniCraft Jakarta.

 

Miniatur, Makna, dan Masa Depan

Di balik figur-figur kecil, meja reyot, atau jemuran miniatur yang tergantung di benang-benang halus, Gen-Z sedang menyusun ulang cara mereka memandang dunia. Dalam ruang sempit diorama, mereka menemukan sesuatu yang luas: kejelasan, kenangan, kendali, dan kreativitas tanpa batas.

Di era layar sentuh dan realitas virtual, diorama hadir sebagai bukti bahwa tangan dan imajinasi masih punya tempat. Dunia mini itu, justru menyimpan cerita besar tentang siapa kita dan bagaimana kita ingin mengingat hidup ini. (ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *