Dari Dapur Nusantara ke Dunia: Kiprah Wanita Indonesia Menaklukkan Kancah Kuliner Global

DEAL GENDER | London, New York, Tokyo – Di balik harum rempah dan rasa autentik masakan Indonesia yang kini semakin dikenal di berbagai penjuru dunia, berdirilah sosok-sosok wanita tangguh. Mereka bukan hanya juru masak, melainkan duta rasa dan budaya yang membawa nama Indonesia ke panggung kuliner internasional.

Salah satu yang mencuri perhatian adalah Chef Petty Elliott, wanita asal Manado yang kini dikenal luas di Inggris dan Eropa sebagai duta kuliner Indonesia modern. Ia memadukan teknik fine dining dengan warisan kuliner Nusantara dalam presentasi elegan, membawa sambal dan rendang masuk ke dapur kelas Michelin.

Read More

“Saya ingin orang asing tidak hanya tahu rendang sebagai makanan pedas, tapi sebagai cerita sejarah dan budaya yang hidup dalam setiap bumbu,” kata Petty dalam wawancara eksklusif di London Food Month 2025.

Bukan hanya Petty. Di Belanda, Diana Tamara, wanita asal Bandung, membuka restoran “Bumbu Cinta” yang menyajikan makanan jalanan Indonesia dengan konsep kontemporer. Ia meraih penghargaan Best Emerging Ethnic Cuisine tahun 2024 dari European Culinary Awards.

“Dulu orang Belanda tahunya cuma nasi goreng dan lumpia. Sekarang mereka antre buat mencicipi soto Betawi dan es campur saya,” ujar Diana, tersenyum.

 

Diaspora Rasa yang Mendidih

Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, lebih dari 500 restoran dan bisnis kuliner Indonesia di luar negeri kini dijalankan oleh wanita diaspora atau imigran generasi pertama. Sebagian besar dimulai dari dapur rumah, pasar akhir pekan, atau food truck kecil—namun berhasil berkembang berkat ketekunan, inovasi, dan kekuatan rasa.

“Kesuksesan mereka adalah hasil dari keberanian mengusung identitas. Mereka memasak bukan hanya untuk menjual makanan, tapi untuk memperkenalkan Indonesia secara utuh,” kata Duta Besar RI untuk Kanada, Abdul Kadir Jailani.

Di Kanada, Chef Yuni Astuti, mantan TKW asal Semarang, kini menjadi pemilik franchise “Java Soul Kitchen” yang tersebar di tiga provinsi. Usahanya dimulai dari menjual nasi uduk dan bakwan di pinggir jalan Montreal, hingga akhirnya masuk ke dalam daftar “Top 10 Women Food Entrepreneurs” versi majalah Taste of North.

 

Tantangan: Antara Stereotip dan Standarisasi

Meski telah banyak menginspirasi, para pelaku kuliner ini tak lepas dari tantangan berat. Banyak dari mereka harus menghadapi stigma bahwa masakan Asia Tenggara tidak cocok untuk restoran kelas atas, atau menghadapi aturan ketat soal bahan baku dan sertifikasi halal.

Di Jepang, Laras Dewi, pemilik warung “Sari Laut Osaka,” mengaku butuh hampir dua tahun untuk meyakinkan warga lokal bahwa sambal bisa dinikmati tanpa ‘membakar’ lidah. “Saya harus edukasi pelanggan bahwa pedas Indonesia bukan musuh, tapi cita rasa,” ujarnya.

Selain itu, hambatan bahasa, modal usaha, serta perizinan usaha di luar negeri kerap menjadi rintangan awal. Namun solidaritas komunitas Indonesia di luar negeri, serta dukungan dari KBRI dan diaspora, menjadi modal sosial yang tak ternilai.

 

Menghidangkan Identitas Bangsa

Kini, wanita Indonesia di luar negeri tidak hanya memasak, tapi menjadi duta budaya, pemilik brand, mentor wirausaha, dan bahkan penulis buku resep internasional. Beberapa telah tampil di acara kuliner dunia seperti MasterChef Global Edition, Taste of Asia, hingga TED Talk kuliner.

Di balik sendok, ada strategi bisnis. Di balik wajan, ada warisan budaya. Dan di balik setiap wanita Indonesia yang berhasil di bidang kuliner luar negeri, ada tekad untuk menjadikan Indonesia bukan hanya dikenal karena Bali, tapi karena rasa yang melekat di lidah dan hati.

Sebagaimana kata Chef Petty di akhir forum kuliner ASEAN di Brussel:
“Perempuan Indonesia bukan hanya bisa memasak. Kami bisa memimpin, menciptakan, dan mengangkat martabat bangsa lewat rasa.” (ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *