Rendang Jengkol: Sensasi Pedas Gurih yang Menyulap Akhir Pekan Jadi Pesta Rasa

DEAL RILEKS | Saat hiruk-pikuk kota dan penatnya rutinitas mingguan, akhir pekan menjadi momen pelarian yang ditunggu-tunggu. Dan bagi sebagian orang, pelarian itu bukan ke mall atau tempat wisata—tapi ke meja makan, dengan satu hidangan legendaris yang bisa membelah opini: Rendang Jengkol.

Tak semua lidah menyambutnya dengan antusias, tapi bagi para pecinta kuliner sejati, rendang jengkol adalah persembahan agung dari dapur tradisional Nusantara. Aromanya tajam, teksturnya empuk, dan rasa rempah yang meresap ke setiap sisi biji jengkol menghadirkan kenikmatan yang sulit ditandingi.

Read More

“Kalau sudah akhir pekan, saya cari rendang jengkol. Apalagi kalau masaknya pakai resep ibu saya dari Minang, bisa nambah nasi sampai tiga kali,” ujar Darto, warga Depok yang rutin berburu rendang jengkol di warung legendaris Pasar Minggu setiap Sabtu pagi.

Bukan hanya nostalgia yang membuat rendang jengkol begitu istimewa. Kombinasi antara proses memasak yang memakan waktu lama—hingga lebih dari empat jam dengan api kecil—dan penggunaan bumbu khas seperti lengkuas, daun jeruk, serai, dan santan kental, menjadikan setiap suapan terasa seperti perjalanan rasa yang utuh.

Namun, rendang jengkol juga menyimpan kontroversi. Banyak orang menghindarinya karena aroma khas jengkol yang dianggap terlalu menyengat. Tapi bagi para penikmat, di situlah letak tantangannya. Bahkan kini, berbagai inovasi telah hadir, mulai dari teknik merebus jengkol dengan daun salam dan kopi, hingga fermentasi jengkol untuk mengurangi bau tanpa mengurangi rasa.

Di beberapa sudut kota besar seperti Jakarta, Bandung, hingga Padang Panjang, rendang jengkol justru makin naik daun. Beberapa restoran bahkan menjadikan menu ini sebagai andalan akhir pekan, lengkap dengan sambal ijo dan nasi panas yang mengepul.

Menurut pakar kuliner dan budayawan, William Wongso, rendang jengkol adalah cermin dari keberanian rasa. “Ini bukan makanan yang dibuat untuk menyenangkan semua orang. Tapi bagi yang siap, ia memberi kejutan rasa yang luar biasa.”

Kini, saat kuliner menjadi bentuk eksplorasi diri dan identitas budaya, rendang jengkol hadir bukan hanya sebagai hidangan, tapi pernyataan: bahwa warisan tradisi bisa tampil dengan percaya diri, meskipun beraroma tajam.

Akhir pekan mungkin hanya datang dua hari, tapi sensasi rendang jengkol bisa membekas hingga pekan berikutnya. Pedas, gurih, dan sedikit “nekat”—itulah definisi sempurna dari pesta kecil di meja makan, yang hanya bisa dihadirkan oleh sepiring rendang jengkol. (ath)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *