Hari Pers Nasional : Antara Wartawan dan Jurnalistik Sehat

DEAL FOKUS | Sumatera Utara menggelar peringatan hari pers nasional tahun ini pada 7 sampai 13 Februari 2023, beragam acara diselenggarakan untuk semua masyarakat di provinsi besar ini, acara itu sangat gegap gempita karena hadir para petinggi bangsa.

Sebagaimana disitir Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah, pers adalah kekuatan keempat dalam pilar demokrasi Indonesia, tanpa kekuatan pers dan media Indonesia akan suram dan rapuh.

Read More

Dulu, saat mantan menteri penerangan Harmoko mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebuah organisasi pers yang mengusung demokrasi dan kesatuan bangsa, semua wartawan taat pada kode etik dan UU Pers. Namun kini pers berubah, semakin banyak media muncul berpengaruh pada etika jurnalistik yang ditulis para pendiri pers nasional.

Di tengah golobalisasi dan derasnya arus informasi berdampak pada tumbuh kembang media di Indonesia, pers semakin rapuh, semua orang bisa menjadi wartawan asalkan bisa menulis berita dan posting di website. Bahkan, setiap orang memberitakan di medsos masing-masing.

Hal itu menurut Imron Supriyadi, mantan reporter Radio Smart FM Palembang, bentuk kemerdekaan dan kebebasan pers nasional. Pembahasan hari ini bukan lagi pada benar atau salah informasi yang mereka sampaikan, namun lebih pada apakah mereka menulis dengan etika dan perilaku seorang wartawan?

Semua ditulis dan diupload ke media sosial tanpa melihat kode etik jurnalistik dan etika wartawan yang benar, para wartawan dadakan yang menulis dan menyiarkan berita lewat medsos tersebut semakin liar saat tidak ada yang dapat menghukumnya saat salah.

Hal lain menurut Alim Thonthowi, mantan wartawan Koran SINDO Jakarta yang sekarang mendirikan media berita online deal-channel dan direktur kantor berita online Alwas Mart Media di kota Medan dan kota Palembang. Ia mengatakan, masih banyak para wartawan yang suka mengancam para pejabat, pemilik modal dan masyarakat, menakuti mereka agar mendapatkan sejumlah uang. Ada pula wartawan yang mendatangi kantor pemerintah untuk meminta jatah.

“Hal itu salah, akibatnya nama besar wartawan dan pers nasional buruk, wartawan dianggap LSM yang suka membuat onar, bahkan perusahaan pers dinilai sebagai LSM yang sengaja melakukan aksi premanisme, mengancam, menakuti orang agar dapat uang atau jatah wartawan, padahal ajaran pers tidak demikian,” tegas mantan hakim tersebut.

Selama menjabat sebagai hakim juru bicara pengadilan, ia acapkali menghadapi wartawan nakal seperti itu, tapi oleh karena ia mantan wartawan sehingga sudah berpengalaman bagaimana menghadapinya.

“Ya saya mantan wartawan, tapi dulu saat jadi wartawan saya tidak seperti mereka, mengancam, minta duit, saya benar-benar wartawan, menerima gaji dari perusahaan dan meliput serta menulis berita sesuai kaidah jurnalistik,” paparnya.

Jadi, kata Alim, saat ia mendengar banyak wartawan di Sumut ini berperilaku menyimpang membuatnya sangat geram. Bahkan, saat pertama mendirikan perusahaan media berita, ia banyak menghadapi kendala dari masyarakat.

“Saya dianggap mendirikan LSM, tidak ada yang mau bantu saya jadi wartawan, semuanya berpikiran duit, anak muda yang saya rekrut takut karena wartawan dianggap LSM suka mengancam dan beraksi seperti preman,” kata dosen hukum dan media dari lembaga Alwas Institute Indonesia kepada www.deal-channel.com.

Melalui hari pers nasional, baik Imron Supriyadi ataupun Alim Thonthowi berharap agar para wartawan dan perusahaan media, benar-benar mengusung etika jurnalistik dan kaidah penulisan berita yang benar.(moy/red)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *