DEAL FOKUS | Istilah pengangguran intelektual jamak terdengar, hampir 3 tahun terakhir diperbincangkan oleh para sarjana baru. Ya, pengangguran intelektual menggambarkan seorang sarjana yang baru lulus dari sebuah perguruan tinggi tetapi belum mendapatkan pekerjaan, kalau telah bekerja biasanya kurang memadai.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pematangsiantar Sumatera Utara, pengangguran paling banyak di kota ini, bahkan menjadi juara pertama se-Sumatera Utara. Hampir 100% jumlah pengangguran di kota itu tersebar mengalahkan kota dan kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara.
Menurut BPS, faktor terpenting yang mempengaruhinya ialah dampak pandemi covid-19 dan PHK besar-besaran. Sisanya karena pribadi masing-masing belum siap menghadapi dunia kerja.
Informasi dari beberapa media seperti CNN Indonesia, MNC grup, banyak perusahaan swasta kelas kakap memberhentikan karyawannya. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut hampir di seluruh perusahaan asing berada di Indonesia.
Lalu bagimana solusinya?
Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, sektor kewirausahaan adalah jalan keluar bagi mereka yang diberhentikan atau PHK.
“Banyak jumlah pengangguran terbuka yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana, seharusnya mereka diberikan bekal wirausaha dan menjadi entrepreneurship,” terangnya saat menghadiri acara G-20 di Bali, pekan lalu.
Sandi juga mengatakan, beban negara belum mampu menerima para lulusan perguruan tinggi menjadi PNS, termasuk perusahaan bonafid di Indonesia. Para sarjana harus mampu bersaing dan “menjual” dirinya sendiri.
Istilah menjual diri itu maksudnya para sarjana yang mempunyai talenta, keterampilan dan ilmu pengetahuan tinggi harus bisa bermanfaat untuk masyarakat dan bidang usaha.
Kelemahan para sarjana sekarang bagi Sandi, mereka hanya mampu berpikir secara teori namun lemah dalam praktik.
“Cerdas dan pandai secara akademik tapi bingung bagaimana menerapkan ilmu mereka di tempat kerja, apalagi saat bekerja tidak sesuai dengan bidang keilmuan mereka dulu saat di kampus,” papar pak Menteri.
Setali tiga uang, pengamat dan analis Alwas Institute Indonesia Alim Thonthowi memaparkan, dampak pandemi covid-19 sangat besar bagi generasi muda sekarang, termasuk generasi tua yang telah berusia 40an tahun ke atas.
Situasi ekonomi yang sulit dan lapangan pekerjaan susah, menjadikan para sarjana yang baru lulus kaku dan bingung, akibatnya mereka terpaksa bekerja serabutan tidak relevan dengan latar belakang pendidikan mereka.
“Sarjana hukum menjadi karyawan mall, atau jualan pulsa HP, bagus juga asalkan bisa menerapkan keterampilannya tapi jadi aneh saja, kenapa tidak relevan keilmuannya,” tegas Alim.
Dosen ilmu hukum Universitas Battuta Medan dan Universitas Asahan (UNA) Kisaran ini menilai, sarjana baru lulus memang seharusnya memilih pekerjaan wirausaha daripada ngotot menjadi PNS atau karyawan perusahaan bergengsi. Hal itu disebabkan, penerimaan PNS tidak mudah lagi sedangkan penerimaan karyawan super ketat.
“Pemerintah mencari sarjana-sarjana hebat dan berkualitas, uji kompetensi berdasarkan nilai tinggi saat seleksi masuk PNS menjadi tolok ukur, bagi sarjana yang tanggung saya ingatkan lebih baik cari kerja lain saja atau menjadi pengusaha atau pengacara khusus sarjana hukum,” paparnya.
Sektor kewirausahaan terbuka luas, apalagi pemerintahan sekarang yang terus menerus mendorong anak-anak muda menjadi pengusaha dan start up.
“Sekarang zamannya IT, anak-anak muda menjadi start up dan menciptakan bisnis luar biasa, penghasilan mereka mengalahkan PNS golongan IV, itu bagus dan harus ditiru,” kata Alim.
Direktur pemberitaan Alwas TV dan owner warkop pinggir jalan ini juga mendorong sarjana baru tamat agar menjadi pengusaha di setiap sektor bisnis baru. Potensi dan semangat mereka akan menjadi modal dasar membuka bisnis.
“Semangat muda, pikiran cerdas dan jaringan pertemanan itu modal awal menjadi pengusaha, sisanya modal uang dan konsep bisnis, harus berani dan tidak malas,” jelasnya.
Dalam setiap seminar dan acara Youtube Helmy Yahya Bicara, master coach bisnis itu selalu mengingatkan bahwa pengusaha itu dilatih bukan dilahirkan.
“Kalau pengusaha dilahirkan menjadi pengusaha maka sedikit jumlahnya, tapi pengusaha itu dilatih menjadi pengusaha sehingga jumlahnya bertambah, pelatihan bisnis ikuti kalau mau menjadi pengusaha,” papar Helmy Yahya.(ba)